TEMPO.CO, Kabupaten Bandung - Kabupaten Bandung hendak membidik pasar wisatawan asing (wisman) Timur Tengah dengan mencanangkan diri sebagai destinasi wisata halal. Selama ini, wisatawan asing masuk ke kabupaten tersebut rata-rata baru berasal dari Malaysia, Singapura, dan Cina.
Rencana pengembangan wisata halal itu diungkapkan oleh Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Bandung Agus Firman Zaini dalam acara outbond wartawan dengan Biro Komunikasi Publik Kementerian Pariwisata di Ciwidey, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Kamis malam, 2 Agustus.
Baca juga: Pantai Mawun Disiapkan jadi Tujuan Wisata Halal di NTB
Agus mengklaim, Kabupaten Bandung adalah wilayah pertama setingkat kabupaten/kota di Indonesia yang mendeklarasikan diri sebagai destinasi wisata halal. “Belum ada daerah setingkat kabupaten/kota lain yang menjadi destinasi halal selama ini. Halal tourism ini, kan, sekarang seperti tren,” kata dia di sela-sela acara.
Ia memandang wisata halal makin diminati. Bahkan, di negara lain, khususnya wilayah-wilayah non-muslim, mereka telah mendeklarasikan diri sebagai wisata halal untuk merebut pasar turis dunia. Sementara itu, Kabupaten Bandung ingin menarik wisatawan dari Timur Tengah lantaran menguntungkan. “Jumlah wisatawan sedikit, tapi belanjanya banyak,” tutur Agus.
Belum lama ini, Menteri Pariwisata Arief Yahya menyebut perkembangan wisatawan muslim, khususnya dari Timur Tengah, masuk ke Indonesia cukup pesat. Apalagi sejak Indonesia memiliki destinasi wisata halal di Nusa Tenggara Barat, Sumatera Barat, dan Aceh.
Sepanjang 2017, kedatangan wisman dari negara tersebut menduduki peringkat lima besar di Indonesia. Mereka umumnya menghabiskan waktu 10,83 hari di Tanah Air dengan pengeluaran sebesar sekurang-kurangnya US$ 2.000.
Agus optimistis Kabupaten Bandung dapat menerapkan destinasi halal layaknya di NTB, Aceh, dan Sumatera Barat. Masyarakat, klaim dia, akan mendukung penuh. “Karena 90 persen (masyarakat) Kabupaten Bandung muslim, mengapa tidak berani mendeklarasikan wisata halal?” ucapnya.
Meski demikian, dinas pariwisata setempat belum merancang konsep wisata halal yang dimaksud. Agus berdalih rencana ini memang baru saja didengungkan. Sebelumnya, Dinas Pariwisata dan Kabupaten Bandung sedang berbenah merapikan format pariwisata karena dinas mereka baru terbentuk 1,5 tahun ini.
Langkah pertama untuk mendeklarasikan wisata berkonsep ramah muslim itu ialah berkonsultasi dengan Halal Center Salman Institut Teknologi Bandung (ITB). Kabupaten Bandung meminta lembaga tersebut mengkaji kelayakan daerahnya sebagai destinasi halal setara tingkat kabupaten/kota.
Setelah itu, dinas pariwisata setempat akan menggelar forum group discussion atau FGD yang menghadirkan para pelaku pariwisata dan beberapa ahli wisata halal. “Untuk saat ini kami sedang memetakan dan belum punya benchmark (patokan),” ujar Agus.
Ketua Halal Lifestyle Center (IHLC) Sapta Nirwandar mengatakan daerah yang akan mencanangkan diri menjadi wisata halal harus memastikan bahwa fasilitas dan layanan publik untuk wisatawan muslim di daerahnya terpenuhi. “Bisa disebut destinasi halal sepanjang kita bisa memberikan pelayanan yang dibutuhkan untuk muslim traveler,” ujar Sapta saat dihubungi Senin malam, 6 Agustus.
Ia menyebut, destinasi halal kudu memiliki hotel dan restoran halal. Itu adalah modal utama sebuah destinasi bisa disebut sebagai daerah wisata halal.
Ia mengumpamakan, hotel halal berarti akomodasi tersebut telah menyediakan fasilitas yang dibutuhkan seorang muslim. Misalnya tempat salat, makanan yang ramah bagi muslim, dan tempat untuk wudu. Sedangkan restoran halal adalah tempat makan yang telah mendapatkan sertifikasi halal dari Majelis Ulama Indonesia (MUI).
“Kalau untuk destinasi, belum ada patokan halal dan tidak,” ujar Sapta. Menurutnya, belum ada sertifikasi wisata halal untuk destinasi. Sebab, destinasi dinikmati oleh kalangan yang luas, bukan hanya untuk wisatawan muslim. “Walaupun memang saat ini ada juga sih kolam renang yang ada pemisahnya untuk laki-laki dan perempuan,” tutur Sapta. Namun, untuk wisata alam, seperti pantai atau gunung, belum ada ukuran tertentu untuk mendeklarasikannya sebagai wisata halal.
Adapun, kata Sapta, definisi destinasi halal tak menyempit hanya untuk wisatawan muslim. Justru, wisata halal sangat terbuka untuk wisatawan dari berbagai latar belakang. “Misalnya wisata halal di NTB. Banyak juga hotel di sana yang menyediakan minuman atau makanan tidak halal. Jadi tidak semua hotel atau restoran itu halal,” katanya.