TEMPO.CO, Jakarta - Sebelas anak gimbal diarak ke panggung utama Dieng Culture Festival 2018 yang bertempat di pelataran kompleks Candi Arjuna, Banjarnegara, Minggu pagi, 5 Agustus. Mereka akan menjalani prosesi pemotongan rambut. Di tengah hawa dingin yang mencapai 11 derajat, ke-11 anak itu tampak meringkuk dalam gendongan orang tuanya.
Tubuh mereka terbalut baju putih menyerupai kebaya, juga lengkap mengenakan kain batik alias jarik. Di tengah puluhan ribu wisatawan yang penasaran dengan ritual bumi khas negeri atas awan itu, 11 anak ini tampak tak grogi. Mereka sesekali malah melambaikan tangannya.
Rambut-rambut anak gimbal itu dibungkus kain berwarna putih. Bagian tersebutlah yang bakal dipotong oleh para sesepuh atau pemangku adat. Pemangku adat warga setempat, yakni Mbah Sumarsono dan Mbah Sumanto, sudah bersedia di muka panggung. Mereka sebelumnya telah mengikuti ritual arak-arakan bersama Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo.
Kedua sesepuh Dieng itu menyandang pakaian Jawa komplet dengan sorjan warna hitam dan cream. Mereka berjaga didampingi para penabuh gamelan dan pembawa ubo-rampe ngalap berkah.
Prosesi pemotongan rambut anak gimbal adalah ritual rutin. Masyarakat wajib mengupacarainya dengan rangkaian adat. Para anak gimbal ini konon dipercaya sebagai titisan Kyai Kolo Dete, leluhur Dieng yang hidup sejak abad ke-14. Rambut mereka akan berubah gimbal kalau mereka dianggap 'terpilih'.
Rambut gimbal mereka tumbuh semerta-merta, dan tidak sejak lahir. Juga bukan karena garis keturunan.
Rambut gimbal bisa dipotong kalau si anak sudah memintanya. Namun dengan syarat khusus. Selain dengan ritual, keinginan para anak kudu terwujud. Biasanya, permintaan mereka tak biasa.
Dalam prosesi pemotongan rambut gimbal yang dilakukan bersamaan dengan Dieng Culture Festival 2018, permohonan para anak gimbal ini unik.
Anak pertama, yakni Zalia Kiranya Zalia Widardo, 4 tahun, memiliki permintaan es krim rasa cokelat. Sedangkan anak kedua, Laela Handayani, 6 tahun, yang berasal dari Cikampek, Jawa Barat, meminta tablet untuk mainan bergambar apel.
Adapun anak ketiga, Nadhira Thafana Pramarsetyo, 4 tahun meminta ikan lele satu ekor. Anak keempat, Aulia Malihatunisa, 7 tahun, memiliki permohonan ponsel, sepeda, boneka, dan baju muslim.
Fitria Nur Rahmadzani, yakni anak kelima, 8 tahun, meminta sepeda, bakso, wortel, burung kenari, ayam, dan tempe gembus. Lain lagi dengan anak keenam, Mysha Kirana Saputra, 5 tahun, meminta tiga ekor entok dan sepatu roda.
Anak ketujuh, Salwa Khoirun Nisa, 7 tahun, meminta kerupuk rambak dan permen yupi masing-masing dua bungkus. Lantas anak kedelapan, Nibaul Khasanah, 6 tahun, meminta sepeda warna merah jambu dan sepatu sekolah lengkap dengan kaus kakinya.
Sedangkan anak kesembilan, yakni Elsa Fitriani, 9 tahun, meminta roti regal bermerek Mari sebanyak dua bungkus besar dan kambing jantan. Kemudian anak kesepuluh, Nurlela Herawati, 12 tahun, meminta kue bolu black forest. Anak kesebelas, alias anak terakhir, Puput Cahyaningsih, 7 tahun, meminta ponsel dan mercon.
Permintaan tak biasa ini diberikan sewaktu prosesi pemotongan rambut gimbal kelar. Ganjar mengatakan permohonan yang unik, yang kadang tak bisa dipahami nalar orang dewasa, tersebut adalah wujud fenomena budaya yang harus dihargai dan dilestarikan. "Secara kultural, fenomena ini menarik. Tidak bisa dipahami, tapi biarkan jadi misteri," katanya.
Seusai upacara pemotongan, dilakukan kembul ngalap berkah. Penyelenggara ritual telah menyediakan beragam ingkung dan nasi uduk serta buah-buahan dan jajanan pasar untuk dinikmati para pengunjung.