Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Digemari Wisatawan Asing, Begini Sejarah Keroncong Tugu Jakarta

image-gnews
Keroncong tugu saat tampil disalah satu acara di hotel Sherathon Grand Jakarta Gandaria City, Jakarta, 17 Juli 2017. TEMPO/Rizki Putra
Keroncong tugu saat tampil disalah satu acara di hotel Sherathon Grand Jakarta Gandaria City, Jakarta, 17 Juli 2017. TEMPO/Rizki Putra
Iklan

TEMPO.CO, Jakarta - Suatu malam di markas Keroncong Tugu yang berlokasi di Koja, Jakarta Utara, delapan pemusik berpakaian koko, bertopi baret, dan berkalung syal Timor Leste berjajar di gazebo. Tempat itu disulap bak panggung pentas.

Klub musik ini dipimpin oleh Guido Quiko. Ia tampak tampil di barisan paling muka. Tangan kirinya menopang leher gitar, sementara tangan kanan meraih microphone yang menganggur. Sebelum beratraksi, ia sempat menyapa wajah-wajah asing di barisan penonton.

Baca Juga:

Sejurus kemudian, mata pria berkulit gelap itu berkontak dengan pemain lain. Layaknya sebuah kode, tujuh musikus di belakangnya langsung siap memegang alat masing-masing.

Guido lalu lebih dulu membunyikan irama. Tangannya luwes. Tak perlu berusaha keras memetik gitar. Senar-senar itu serta-merta beraksi bersama, bergesekan dengan udara. Satu bar pembuka dimainkan. Terdengar alunan gitar yang harmonis.

Entakan rebana menyambut spontan, bak tersengat semangat dari permainan enerjik sang pemimpin. Begitu pula dengan contrabass, cello, macina, frunga, dan biola. Masing-masing membentuk melodi yang padu. Lagu Oud Batavia berkumandang. Hampir sempurna sebagai pembuka penampilan.Keroncong Tugu. Foto/Dok Pribadi

Baca Juga:

Suara Guido masuk, melantunkan lirik dengan bahasa yang cukup asing: campuran antara Portugis Kreol, Belanda, dan Melayu. Dalam beberapa bagian, terucap satu-dua kata berdialek Betawi yang humoris. Pemusik lain juga menyelingi dengan celotehan yang memantik gelak tawa.

Tuntas Oud Batavia, lagu Gatu Matu gantian dimainkan. Kali ini Guido mengajak rekan penyanyinya, Nining Yatman, tampil di panggung. Perempuan dengan cengkok yang kental itu sudah lama bergabung dengan orkes Keroncong Tugu. Memakai setelan kebaya Betawi, Nining menampilkan figur sebagai “keturunan gang kelinci” sesungguhnya. Rautnya riang, gerakannya lincah, salam sapanya penuh keramaian.

Ia melafalkan lagu dengan fasih. Padahal bahasanya gado-gado. Meski tak jelas maksud dan artinya, penonton ikut bergoyang. Mereka terbius dengan penampilan Nining.

Lagu ini bercerita tentang kucing hutan. Namun lariknya bahasa Portugis Kreol. “Kami memang keturunan Portugis yang tertinggal di Batavia bagian tenggara. Mereka dulunya adalah pemusik otodidak dan kami bermain keroncong sesuai dengan tradisi keluarga,” tutur Guido, di Jakarta, Kamis, 21/6.

Musik keroncong itu warisan dari keluarga Quicko. Guido kini merupakan generasi keempat dari keluarga Quicko. Kemunculan musik keroncong tak lepas dari sejarah kedatangan moyang Guido ke Batavia.

Kata Guido, ketika Belanda datang ke Malaka pada 1641, orang-orang Portugis, yang sebelumnya berkuasa, dibuang. Sekitar 23 dari 800 keluarga yang didepak Belanda disingkirkan ke kawasan hutan belukar di tenggara Batavia, yang kini menjadi Kampung Tugu.

Di sana, mereka terasing dari keramaian, hiruk-pikuk, dan gemerlapnya kota. Sebagai hiburan, 23 keluarga itu menciptakan alat musik dari kayu waru dan pohon-pohon yang tumbuh di sekitarnya. Bentuknya menyerupai gitar. Namun, senarnya hanya lima. Mereka menyebut jitara. Kala dibunyikan, suaranya nyaring. Crong-crong. Begitulah iramanya. Karena itu, mereka menamainya musik keroncong.Warga kampung Tugu menari dan bernyanyi di iringi muusik keroncong dalam acara Mandi-Mandi di Kampung Tugu, Jakarta Utara, 10 Januari 2016. Mandi-mandi adalah tradisi membersihkan diri dan menghapus kesalahan diantara komunitas kampung Tugu dengan meminta Maaf dan saling mencoreng muka menggunakan bedak.TEMPO/Wisn Agung Prasetyo.

Lantas, berkembanglah jitara dengan ukuran yang lebih kecil. Namanya macina dan frunga. Macina memiliki empat senar, sementara frunga tiga senar. Keduanya memiliki ukuran yang berbeda, dengan suara yang berlainan pula. Setelan chor­d-nya pun tak sama. “Frunga memiliki setelan internasional. Kalau macina naik empat nada,” tutur Guido.

Macina dan frunga dibentuk dari kayu kembang kenanga. Alasannya supaya kuat dan menghasilkan suara nyaring. Senarnya terbuat dari kulit kayu waru yang dikeringkan. Namun, seiring dengan perkembangan zaman, karena keterbatasan bahan baku dan alasan keefektifan, peranti tersebut dapat digantikan dengan senar pancing.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Suaranya sama: memantulkan karakter yang tegas. Bahkan, di panggung terbuka, seperti malam itu, tanpa pengeras suara pun, irama garukan senar macina dan frunga terdengar yang paling nyaring.

Sementara itu, jitara mulai tak dibuat lagi karena ukurannya terlalu besar. Itulah sebabnya Guido memboyong gitar, bukan jitara. “Karena jitara besar, kayunya pun otomatis harus yang ukurannya besar. Selain terkendala pembuatan, pohon bisa habis ditebang untuk membikin jitara,” kata Guido.

Karena itu, yang dipertahankan dari tradisi moyangnya adalah frunga dan macina. Kedua alat musik itulah kini yang menjadi nyawa Keroncong Tugu.

Menurut kisah Guido, musik Keroncong Tugu berhasil membius masyarakat sekitar pada masa lalu. Lambat laun, perkampungan yang berisi keturunan-keturunan Portugis itu menjadi tenar. Orang-orang terhibur dengan harmonisasi yang dimainkan.

Dua-tiga di antaranya lantas “memboyong” keroncong keluar dan mengembangkan dengan pakem baru. Kelompok-kelompok lain bermunculan. Menjadi kabar positif bagi kemajuan sejarah musik Nusantara.

Setelah kondang, Keroncong Tugu dibuat menjadi kelompok resmi. Pendulunya adalah Joseph Quicko. Ia memimpin grup musik mulai 1925. Sayangnya, perjalanan musik Keroncong Tugu tak terlampau mulus. Karena keadaan politik yang tak stabil, pada 1950 hingga 1970-an, kelompok mereka dibekukan.

Kondisi baru berubah pada masa pemerintahan Ali Sadikin. Kala menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta, Sadikin meminta Keroncong Tugu kembali dihidupkan.Kelompok musik Kerontjong Toegoe mengalunkan musik keroncong dalam Festival Kampoeng Toegoe 2010 di Kampung Tugu, Jakarta Utara, Sabtu (16/10). Selain musik keroncong, pengunjung juga disuguhi kesenian berlatar budaya Portugis lainnya, seperti Brasil dan Timor Leste. TEMPO/Nita Dian

Kala itu, kepemimpinan kelompok sudah beralih ke tangan Jacobus Quicko, adik Joseph Quicko. Tak lama setelah bendera kelompok yang semula bernama Orkes Pusaka Keroncong Morresco Tugu Ano 1971 itu berkibar, Jacobus meninggal. Tampuk kepemimpinan diserahkan kepada Samuel Quicko, ayah Guido. Ia didapuk sebagai penggawa hingga 2006. Kini, bendera kepemimpinan sudah beralih ke tangan Guido.

Meski sudah melewati fase empat kepemimpinan, formasi Keroncong Tugu tetap dipertahankan. Pakem, aransemen, dan gayanya tak membelot. “Sebab kami mempertahankan tradisi,” ucap Guido.

Kini, Keroncong Tugu menjadi suguhan favorit bagi wisatawan asing. “Banyak wisatawan dari Belanda, Portugis, Timor Leste, Jepang, dan Malaysia yang nonton kami."

Para wisatawan biasanya mencari jadwal pertunjukan Keroncong Tugu di laman Internet yang dikelola grup musik itu. Mereka juga bisa datang ke tempat Guido latihan, yakni di markas, Koja, Jakarta Utara.

“Kami latihan setiap Selasa dan Rabu malam,” katanya. Kecuali bila ada pentas, malam sebelumnya mereka akan menggelar latihan mendadak.

Keroncong Tugu kini banyak mengisi acara-acara festival dan pentas kebudayaan di Jakarta. Dekat-dekat ini, mereka akan mengisi panggung ulang tahu Jakarta di Ancol, Jakarta Utara. Tepatnya pada 25 Juni mendatang.

Iklan


Artikel Terkait

    Berita terkait tidak ada



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Berita terkait tidak ada