TEMPO.CO, Jakarta - Tim dokter hewan WWF Indonesia dan Institut Pertanian Bogor mengambil kesimpulan awal bahwa kematian badak Jawa bernama Samson di Taman Nasional Ujung Kulon bukan disebabkan penyakit infeksius atau perburuan liar. “Tetapi karena kolik usus,” kata ahli patologi Fakultas Kedokteran Hewan IPB Dr Drh Sri Estuningsih dalam keterangan tertulis diterima di Banjarmasin, Sabtu, 28/4.
Kesimpulan awal itu itu diperoleh berdasar hasil investigasi forensik bangkai Samson. "Dari hasil nekropsi, beberapa organ sudah dalam keadaan hancur akibat proses pembusukan, seperti ginjal dan paru-paru," kata Dr Drh Sri Estuningsih.
Badak jawa (Rhinoceros sondaicus) jantan bernama Samson itu ditemukan mati di Pantai Karang Panjang, Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK), pada 23 April 2018.
Tim dokter hewan telah mengambil beberapa sampel organ yang masih dinilai layak untuk diperiksa lebih lanjut di Laboratorium Histopatologi Divisi Patologi FKH IPB.
Kolik atau torsio usus adalah terpuntirnya usus besar dan usus kecil terpuntir (torso), sehingga mengakibatkan kerusakan pada usus besar. Itu menyababkan bakteri mikroflora usus menghasilkan racun dan kemudian menyebar ke seluruh tubuh badak.
Pada pengamatan luar, kondisi bangkai badak masih utuh, cula masih menempel pada kepala, tidak ada tanda-tanda luka pada tubuh. Kondisi bangkai menunjukkan sudah terjadi pembusukan yang ditandai dengan pengeluaran gas disertai busa dari celah kulit badak, kulit dan cula mudah terlepas.
Pada bagian mata, mulut, hidung, alat kelamin, dan anus berwarna merah, ditemukan juga telur lalat, belatung pada permukaan kulit di bagian kaki depan dan belakang.
Hasil pengamatan bagian dalam (hasil nekropsi) terdapat perubahan warna pada sebagian besar organ (ginjal, paru, hati, limpa, dan usus) yang telah mengalami pembusukan. Hal itu ditandai dengan konsistensi organ yang sudah lunak menyerupai bubur dan perubahan warna organ, serta terdapat gas.
Pada rongga tubuh thorax dan abdomen ditemukan cairan transudat yang cukup banyak. Pada usus ditemukan adanya bagian usus yang terpuntir antara usus halus dan usus besar yang menyebabkan terjadi rupture usus bagian sekum.
Isi usus sebagian terhambur mengenai dinding serosa usus yang ditandai adanya sisa makanan menempel pada serosa usus dan dinding badan (peritoneum), di dalam saluran pencernaan terdapat cacing berbentuk bulat yang ditemukan dalam jumlah banyak.
Tim juga tidak menemukan tanda adanya penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri, virus atau parasit yang bersifat akut.
Project Leader WWF Indonesia drh Kurnia Khairani yang berkantor di Ujung Kulon menegaskan hal terpenting adalah kematian ini bukan disebabkan oleh perburuan badak, karena cula masih menempel pada tubuh badak.
Dia mendorong pemerintah segera merampungkan Strategi Konservasi Badak 2018-2023, dan fokus mengembangkan populasi badak jawa selain di Ujung Kulon. “Itu untuk mencegah kepunahan badak jawa yang disebabkan oleh penyakit epidemi yang masif, bencana alam seperti tsunami atau gempa bumi," ujar Kurnia.
Penyakit infeksius yang bersifat epidemik dikhawatirkan dapat menyebar secara cepat ke seluruh populasi badak jawa apabila kondisi hanya populasi tunggal, yaitu hanya ada di Ujung Kulon. Karenanya pengembangan populasi kedua harus segera menjadi prioritas strategi konservasi badak jawa ke depan.
ANTARA