TEMPO.CO, Palembang - Pada muara pertemuan Sungai Musi dan Sungai Ogan Palembang, suara kletak-klotok tak pernah diam, mulai pukul 08.00 sampai 17.00, setiap hari. Kletak-klotok bukan suara mesin, tapi suara tabrakan kerangka kayu yang dibentuk menjadi Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM).
Suara itu bersumber dari Kampung Tuan Kentang, Seberang Ulu 1 Palembang. Sejak tahun 1970-an, kampung itu diisi oleh para pengrajin kain khas Palembang.
Baca juga: Wisata Andalan Baru Kotawaringin Timur, Susur Sungai Mentaya
“Di kampung inilah pembuatan kain tajung dan kain jumputan titik tujuh khas Palembang itu berasal,” tutur Nasuka, salah satu pengrajin dari Kampung Tuan Kentang sambil menenun kain tanjung, Jumat, 13 April 2018.
Nasuka tak banyak omong, pria 60 tahun itu fokus melihat benang yang tersusun rapi di kayu silang pada ATBM. Kayu silang itu berfungsi menjaga benang supaya sejajar dan benang tidak saling tertukar. Tangannya sibuk mengeserkan benang supaya warna benang itu selaras dengan pola yang dibuat. Begitu juga kedua kakinya sibuk menginjak sepasang kerangka kayu yang berupa injakan secara bergiliran.
Injakan itu berada di bawah alat tenun. Bila diinjak, alat pemukul berupa beberapa tongkat akan bergerak, dan tongkat terakhir akan menarik tali picker hingga tersentak dan berbuah terlemparnya teropong, sehingga benang bisa masuk secara selang-seling. Injakan itulah yang menghasilkan suara kletak-kletok yang saling susul itu.
Pekerja sedang menyelesaikan kain tajung dan kain kumputan khas Palembang. Foto Ahmad Supardi
Ketua Kelompok Pengrajin Griya Kain Kentang Habibi menjelaskan kain tajung adalah kain khusus dipakai oleh laki-laki, sedangkan kain tajung khusus perempuan bernama kain tajung blongsong.
“Pembuatannya lumayan sederhana, cukup memilih benang sebagai bahan dasar pembuatan kain, lalu dilakukan pewarnaan, kemudian benang yang sudah diwarnai itu dijemur hingga kering, lalu dipintal. Sesudah dipintal, barulah ditenun menggunakan ATBM,” jelasnya.
Menurut laki-laki 34 tahun itu, kain tajung ada beberapa jenis, mulai dari kain tajung limar, limar patut, petak-petak, gerbik, dan blongsong.
“Hampir seratus kepala keluarga bekerja sebagai penenun kain tajung dan jemputan ini. Sebulan bisa terkumpul 500 kain, dan dijual dengan harga 100 ribu sampai 700 ribu” ujar Habibi.
Menurut dia, dua kain khas Palembang ini dihasilkan dengan teknik yang berbeda. Kalau kain tajung menggunakan ATBM, maka kain jumputan ini tidak dihasilkan dengan ATBM, namun dihasilkan dengan cara menyemput atau diikat. Lalu direbus dengan pewarna, seusai itu dilepas ikatannya dan terakhir dijemur.
Jauhari, salah satu pengrajin kain jumputan menceritakan kain dasar jumputan itu bisa dari kain viscose, dopi, dan katun yang berwarna putih. Kain-kain itu lalu di gambar sesuai dengan pola yang akan dibuat. “Pola yang paling rumit karena terlalu detail adalah pola titik tujuh. Pola inilah khas Palembang,” tuturnya.
Setelah digambar, pengrajin akan mengikat kain dengan erat sesuai garis-garis pola yang sudah digambar. Saking rumitnya mengikat kain jemputan pola titik tujuh ini, pengrajin butuh tiga hari untuk mengikat. “Setelah itu baru direbus dengan pewarna direk atau naptol,” kata Jauhari.
Sedangkan untuk pewarna alami, bisa menggunakan ekstrak mahoni, mangga hingga jengkol. “Pewarna alami ini hasilnya lebih kalem, warnanya lembut, seperti warna cokelat” lanjutnya.
Selesai direbus, kain khas Palembang itu akan dijemur. “Dijemurnya jangan langsung di bawah sinar matahari, cukup di bawah atap,” ujar Jauhari.
Dia berharap dari kampung yang tak jauh dari muara pertemuan Sungai Ogan dan Sungai Musi ini, kain khas Palembang bisa terjaga keberadaannya.
AHMAD SUPARDI
Baca juga: 4 Pilihan Oleh-oleh Palembang Selain Pempek