TEMPO.CO, Yogyakarta - Tidak sulit menjumpai aneka kuliner khas Bali di kota Yogyakarta. Sebab, sejumlah penduduk Pulau Dewata yang merantau ke Kota Pelajar telah membuka warung-warung asli masakan Bali di sana. Mau sate lilit? Jelas, ada!
Semisal di warung makan Maprada milik Putu Eldwin. Warung makan di kompleks Taman Kuliner R26 Condong Catur, Yogyakarta, itu menjajakan beragam menu original Bali, termasuk sate lilit. Tempat ini beserta sajiannya, bisa menjadi salah satu alternatif penuntas rindu bagi para penyuka kuliner Pulau Seribu Pura.
Baca juga: Mencicip Sate Lembut Hj Romlah di Kebon Kacang
“Bagi yang rindu masakan Bali, kami punya menu utama sate lilit,” kata Eldwin yang dihubungi pada Rabu, 11 April 2018. Sate lilit acap menjadi menu pertama yang diingat para pelancong lepas pulang dari Pulau Dewata. Sebab, kuliner yang tergolong makanan rakyat itu bisa dijumpai di setiap sudut di Bali.
Sate lilit berbeda dengan sate-sate lain, yang sarat akan potongan dan tusukan daging. Sate lilit lebih mirip daging giling yang dikepal-kepal, dicampur parutan kelapa, lalu ditempelkan di ruas-ruas bambu. Rasanya pun berlainan. Bila sate lain, seperti sate Ponorogo dan Madura, mengedepankan dominasi rasa manis, sate lilit justru menawarkan citarasa yang gurih dan pedas.
Sate lilit yang diracik oleh Eldwin dimasak dengan resep original. Ia menggunakan bumbu-bumbu dasar Bali yang disebut genep. Racikan itu mengkombinasikan beragam bumbu dapur, seperti bawang merah, bawang putih, cabe, sereh, kemiri, ketumbar, merica, jahe, kencur, kunir laos, dan lain-lain.
Meski mempertahankan bumbu asli, Eldwin menyesuaikan racikannya dengan lidah warga Yogyakarta. “Saya sempat melakukan eksperimen, meminta beberapa teman di Yogyakarta untuk mencobanya sebelum sate lilit dipasarkan,” ujar Eldwin. Ternyata, kecenderungan warga setempat yang lebih terbiasa menyantap masakan manis, membuat Eldwin kudu menformulasi ulang resepnya.
“Saya tambahi gula pasir dan gula merah supaya bisa diterima oleh lidah orang Jogja yang mayoritas suka manis,” ucapnya.
Adapun daging yang dipakai untuk menu sate lilit ialah daging ikan tuna dan ayam. Pengunjung bisa memilih sesuai dengan seleranya.
Supaya lebih sah menyajikan menu original Bali, Eldwin menyandingkan sate lilit dengan menu pelengkap lain, seperti plecing kangkung dan sambel matah.
Tempo sempat menjajal menu sate lilit Maprada olahan Eldwin. Sekilas, tiada beda sate lilit yang disajikannya dengan sate yang dijajakan di pasar-pasar tradisional Bali. Hanya, peranti bambu yang ia gunakan untuk menopang daging bentuknya tak pipih seperti di daerah asalnya. “Karena sulit menemukan bambu seperti itu di Jogja,” katanya.
Rasanya pun beda tipis dengan racikan aslinya. Bahkan, sate lilit racikan Eldwin lebih royal bumbu dengan modifikasi rasa yang cukup kaya. Ini berhubungan dengan cara pembakarannya yang dicampur dengan minyak sereh.
Setusuk sate lilit olahan Eldwin dijajakan seharga Rp 2.500. Menu lain, seperti nasi campur, dibanderol mulai Rp 10 ribu hingga Rp 15 ribu.
Selain membuka warung di Pusat Kuliner Condong Catur, ia membuka cabang di Jalan Kaliurang KM 13,5, Besi, Sleman. Warung tersebut buka setiap Senin sampai Sabtu mulai pukul 12.00. “Cocok untuk makan siang,” katanya.
Artikel lain: Viral Es di Puncak Gunung Semeru, Pendaki Diminta Persiapakan Fisik Lebih Baik