TEMPO.CO, Lumajang - Kabut tebal menutupi seluruh bagian permukaan Danau Ranu Regulo pagi itu, Sabtu, 7 April 2018. Bulan setengah purnama di atas danau belum bergerak dan cakrawala masih tak tampak. Ini membuat danau yang berlokasi di desa terakhir jalur pendakian Semeru, yakni Desa Ranu Pane, Lumajang, Jawa Timur, itu benar-benar nyenyat.
Selepas subuh pukul 05.00, Ranu Regulo nihil pengunjung. Tempo dan rombongan wartawan yang tergabung dalam Forum Wartawan Pariwisata berkesempatan menjadi wisatawan pertama yang datang kala itu.
Baca juga: Cahaya Emas Ranu Kumbolo di Semeru yang Tak Tergantikan
Pada pengamatan pertama kami, Ranu Regulo yang berada di ujung lorong-lorong cemara, tampak mistis. Udara terasa berkali lipat lebih dingin dan angin lebih banyak berembus. Sementara itu, suara serangga hutan nyaring terdengar, memecah sunyi. Beberapa kali, sayup-sayup terdengar suara benda jatuh di air, menimbulkan bunyi plung-plung!
Mendekat ke tepi danau, ada sebuah gazebo kayu. Tampak seorang nenek berusia 60-an tahun duduk-duduk di sana. Kain berlipat-lipat terlihat membungkus badannya. Ia seperti orang kedinginan lantaran selalu menggosok-gosokkan kedua telapak tangan.
Si nenek membuat api kecil dari reranting pohon di depan gazebo. Ketika Tempo melintas, ia tak acuh. Suara riuh rombongan yang datang tak membuat ia menengok sedikit pun. Tatapannya selalu ke bawah dengan badan merunduk. Si nenek tampak sedang mencari sesuatu yang tak kunjung ketemu. Kadang-kadang, ia tertawa dan berbicara sendiri.
“Dia (nenek) tak bakal mengganggu,” kata anggota rombongan, Sendy Aditya. Sendy berkisah pernah mendirikan tenda dan bermalam di Ranu Regulo. Ia, yang ditemani penduduk lokal, memperoleh pengalaman supernatural ketika tidur di lambung tenda.
“Si nenek ngomong sendiri sepanjang malam,” ucapnya. Sayup-sayup, nenek itu mengatakan “matur nuwun” berkali-kali. Matur nuwun berarti terima kasih.
Adapun warga setempat, Fitri Hutami, yang ditemui Tempo di tengah ladang perkebunan kentang pada hari yang sama, berkisah sedikit tentang keberadaan nenek ini. Konon, tutur Fitri, nenek penunggu Ranu Regulo adalah warga desa itu. Ia diasingkan oleh keluarganya lantaran mengalami gangguan jiwa.Suasana pagi hari di Ranu Regulo, Gunung Semeru, Desa Ranu Pane, Lumajang, Jawa Timur, Sabtu, 7 April 2018. Tempo/Francisca Christy Rosana
Si nenek lalu hidup di tepi ranu sepanjang hari dan memunguti sisa logistik milik pendaki yang ditinggal di sekitar Desa Ranu Pane. “Dia sudah ada di situ sejak saya kecil,” kata Fitri. Kini Fitri berusia 30-an tahun.
Pengunjung yang datang tak disarankan mengobrol dengan si nenek. Juga tak direkomendasikan memotretnya. “Jangan ngobrol,” tutur Fitri, yang tak disertai dengan alasan.
Di luar kisah si nenek, Ranu Regulo memiliki kisah mistis lainnya. Warga setempat bercerita bahwa suhu di kawasan danau itu lebih dingin. Suhu minimal yang tercatat pada bagian informasi danau tersebut bisa mencapai -4 derajat Celcius.
Adapun selisih suhu dengan Ranu Pane, yakni danau di samping Ranu Regulo, tercatat bisa mencapai 2 derajat. “Maka itu dulu pernah ada yang meninggal karena kram waktu berenang di danau,” ujar Fitri.
Lekatnya Ranu Regulo dengan cerita mistis yang dipercaya penduduk lokal tak menyurutkan animo pengunjung untuk datang. Bahkan, bagi pendaki, danau ini menjadi alternatif mendirikan tenda untuk bermalam, sebelum atau setelah melakukan pendakian ke Gunung Semeru.
Artikel lain: Ratusan Rider Berbagai Komunitas Motor Konvoi ke Tambora