TEMPO.CO, Tual - Bila tengah melancong ke Maluku, sempatkan mampir ke Tual. Di sana, Anda akan menemui perkampungan unik setelah melewati Jembatan Watdek atau Usdek yang memisahkan Kota Tual, Maluku, dan Pulau Kei Kecil, Maluku Tenggara. Kampung di pesisir perairan Maluku ini penuh dengan rona merah-putih, maka disebut Kampung Merah Putih.
“Ya, namanya Kampung Merah Putih,” kata Kepala Bidang Pemasaran Dinas Pariwisata Kabupaten Maluku Tenggara Budhi Toffi saat ditemui pada 15 Maret lalu di Maluku Tenggara. Seperti namanya, rumah-rumah di lingkungan tempat tinggal nelayan itu dicat serupa warna bendera Indonesia. Mulai atap, tembok, tiang-tiang listrik, hingga jalur pedestriannya, semuanya dwi warna.
Baca juga: 7 Tempat yang Wajib Dikunjungi di Kepulauan Kei
Merah-putih di kampung ini, menurut Budhi, menunjukkan semangat nasionalisme para penduduk Maluku. Dulunya, tempat tersebut adalah permukiman kumuh. Namun, setelah dipugar oleh pemerintah daerah setempat, desa kecil di tepi pantai ini bersolek rupa. “Ada sebuah perusahaan cat yang memberi bantuan,” tutur Budhi.
Tak cuma dipoles dwi-warna, Kampung Merah-Putih diindahkan dengan mural bergambar para tokoh pejuang. Bung Karo dan Pattimura adalah dua wajah yang menghiasi tembok-tembok rumah warga itu. Adapun potret Gus Dur tengah menghadap ke samping dengan tawa khasnya turut terbingkai dalam dinding kayu sebuah rumah.penampakan rumah apung di Kampung Merah Putih, Tual, Maluku. Tempo/Francisca Christy Rosana
Di Kampung Merah-Putih, kalau sore hari, warga lokal dari desa-desa sekitarnya datang. Para anak muda berkunjung untuk mengambil gambar atau berswafoto. Sedangkan orang-orang tua datang mengajak anaknya jalan-jalan menyaksikan mural.
Bila datang wisatawan, bocah-bocah kecil tak sungkan menghampiri. Seperti ketika Tempo berkunjung ke sana pada Maret lalu. Mereka, yang tinggal di sekitar, langsung mendekat. Ada yang mengajak main, ada pula yang hanya menyungging senyum malu-malu.
Polah sejumlah anak mencuri perhatian. Mereka beratraksi dengan mainan tradisionalnya, yakni roda yang disorong dengan kayu berlapis plastik wadah oli. Para bocah itu tak sungkan menyuruh wisatawan menjajal.
“Ini Kak,” kata Ongen, seorang bocah, menyodorkan mainannya. Ketika Tempo mencoba, sungguh sulit bukan main. Memang tak sesederhana bentuknya. Meski tampak simpel, nyatanya permainan ini selalu menjadi pencair suasana.
Menjelang petang, langit berangsur oranye. Perkampungan itu tersapu cahaya keemasan. Refleksi rumah-rumah apung mulai tampak, membuat laut bagian tepi berubah gelap. Pada saat itu pula, nelayan bersiap di perahu-perahu kayunya. Mereka bekerja mengikuti angin darat pada petang hari, lantas menuju tengah laut untuk menjaring ikan-ikan segar.
Potret Kampung Merah Putih ini benar-benar sederhana, tapi hidup. Merah-putih tak lagi tampak sebagai simbol. Namun juga sikap yang tercermin dari senyum-senyum warga lekat terpatri di benak wisatawan.
Artikel lain: Memasuki Usia 1 Abad, Seba Baduy akan Dilaksanakan Berbeda