TEMPO.CO, Yogyakarta - Ruangan oval di lantai satu wahana edukasi Taman Pintar Yogyakarta, awal pekan ini, tampak megah dipenuhi deretan kain batik yang mengitari sudutnya.
Batik-batik yang terlihat jarang ada di pasaran itu merupakan koleksi batik dari Keraton Yogyakarta dan Puro Pakualaman yang dipamerkan selama sepekan, dari 26 Februari sampai 4 Maret 2018.
Baca juga: Motif Batik Yogyakarta yang Hampir Punah
Sebuah kain batik raksasa membentang dengan indah di selipan kain batik berwarna dominan gelap kecokelatan itu. Namanya Batik Kampuh Batik Semen Raja Sawat, yang merupakan koleksi Keraton Yogya.
Bentang batik Raja Sawat itu sekitar empat meter dengan gambar ornamen bangun segi empat di tengahnya. Di sekitar ornamen utama itu terdapat ornamen penghias pohon hayat atau pohon kehidupan yang menjadi simbol keadilan dan kekuasaan. Selain itu, terdapat ornamen meru atau gunung, burung, garuda, dan matahari.
Keraton juga membawa batik Kawung, yang merupakan pola batik paling kuno yang pernah diciptakan. Motif Kawung ini tersusun dari motif bulat panjang (elips), disusun menurut garis diagonal, miring ke kiri dan ke kanan berselang-seling.
Dalam penjelasannya, Kawung bermakna papat kiblat lima pancer, yang berarti empat penjuru mata angin dengan satu pusat, yang merupakan lambang Tuhan Yang Maha Esa.
Batik Kawung biasanya dipakai sebagai lurub atau kain penutup jenazah, dengan harapan orang yang sudah meninggal dapat lancar jalannya menuju alam kelanggengan atau keabadian. Dalam bahasa Jawa, kawung diartikan sebagai bali nang alam sawung atau kembali ke alam sawung (kosong, hampa).
Keraton Yogyakarta memamerkan juga motif legendaris Truntum, yang diyakini tercipta di masa raja keturunan Mataram pertama yang dilantik Belanda, Sri Susuhunan Pakubuwana III, 1732-1788.
Konon motif Truntum yang sekilas berbentuk seperti hamparan bintang itu tercipta kala permaisuri Pakubuwana III sedang dilupakan suami. Sang permaisuri dalam kesedihan terus membatik sambil berdoa agar sang suami memperhatikannya lagi dan upaya itu berhasil. Motif Truntum pun kemudian diidentikkan dengan makna bertautnya cinta.
Tak kalah eksotisnya dengan batik koleksi Keraton, Puro Pakualaman juga menampilkan motif-motif baru yang diilhami dari penerjemahan naskah kuno perjalanan Puro Pakualaman.
Misalnya yang menonjol adalah batik Wilaya Kusumajana, yang diwarnai motif ribuan titik mengepung bunga kusuma. Motif ini terinspirasi dari kisah wedana renggan Wilaya Kusumajana dalam naskah kuno Puro Pakualaman berjudul “Sestradisuhul” dan “Bebar Palupyan”.
Makna simbolis dari motif batik ini merangkum keteladanan Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aryo Pakualam I sebagai pribadi yang konsisten menjalankan ajaran sestradi. Ajaran sestradi mengenai sikap manusia untuk tidak sirna saat diri dihina dan tidak tinggi saat diri dipuji.
Penghageng Kawedanan Hageng Punakawan Nitya Budaya Keraton Yogya, Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Bendara, menuturkan pameran koleksi batik ini adalah upaya mengenalkan lagi sejarah di balik motif batik kepada publik.
“Sehingga masyarakat bisa tahu filosofi motif batik itu juga penggunaannya,” ujar Bendara, yang merupakan putri Raja Keraton Yogya Sri Sultan Hamengku Buwono X, di sela pembukaan pameran, Senin, 26 Februari 2018.
Pemandu Taman Pintar, Nia Chusnul Himawati, mengatakan pameran koleksi batik Keraton dan Puro Pakualaman di Taman Pintar ini merupakan kali pertama dan mendapat antusiasme pengunjung.
“Pameran batik ini menjadi warna baru untuk Taman Pintar yang selama ini dianggap identik dengan bidang ilmu pengetahuan dan teknologi,” ujarnya.
Nia menuturkan Taman Pintar sendiri memiliki zona membatik, pengunjung bisa belajar membatik setiap hari dengan biaya Rp 13 ribu per orang.
Seorang wisatawan asal Palembang, Umi Khusnul, 25 tahun, mengaku senang dengan pameran batik itu. “Selama ini saya tahunya batik itu ya seperti kain ini, tapi tidak tahu bagaimana sebenarnya kisah di balik motif-motif itu. Sekarang jadi tahu,” kata Umi.
PRIBADI WICAKSONO
Artikel Lain: Museum Batik Danar Hadi Perkuat Identitas Solo sebagai Kota Batik