TEMPO.CO, Jakarta - Irwan Ahmett, Tita Salina, Hannah Ekin, dan Jorgen Doyle mengakhiri kegiatan Ziarah Utara Jakarta di Rumah Susun Marunda, Sabtu, 24 Februari 2018.
Keempat petualang ini memulai perjalanan dari Kampung Dadap di Tangerang, 15 Februari. Selama 10 hari mereka tidak pulang ke rumah, melainkan berjalan kaki menyusuri wilayah pesisir Jakarta. "Ini semacam napak tilas dan ziarah," kata Irwan Ahmett saat dihubungi, Jumat, 23 Februari.
Baca juga: Enam Fakta Mengenai Museum Bahari Jakarta
Aktivitas mereka selama berziarah ke Jakarta Utara bisa dilihat di media sosial masing-masing peserta itu atau di akun Twitter @RujakRCUS. Dokumentasi lainnya juga bisa dijumpai di Ruang Depan Rujak Jalan Cikini Raya 37B.
Di Dadap, mereka menemukan pemukiman yang tergenang karena air rob. Sedangkan di Pantai Indah Kapuk, mereka malah tak menemukan pantai. Mereka juga menyusuri Muara Angke, Kampung Akuarium, Pelabuhan Sunda Kelapa, Ancol, dan perkampunan nelayan Cilincing.
Irwan menjelaskan ide berziarah ke pesisir Jakarta sebenarnya tercetus sekitar setahun lalu. Berkat bantuan komunitas Rujak Center for Urban Studies yang memiliki akses ke beberapa daerah itu, mereka pun dapat mewujudkannya. Persiapannya memakan waktu sekitar 6 bulan, dengan biaya sendiri.
Irwan dan tiga rekannya tertarik untuk mengunjungi wilayah-wilayah di pantai utara karena dia menganggap pesisir utara secara geografis sangat unik, pesisir adalah bagian terlebar wilayah Jakarta.
Namun mereka juga merasakan banyak privatisasi di wilayah pantai Jakarta. "Misalnya kita kalau mau ke pantai, sebagai warga Jakata sangat sulit, karena wilayah-wilayah itu menjadi sangat privat. Mesti ada izin, beli tiket, jadi kawasan industri, atau jadi pelabuhan internasional," ujar Irwan.
Menurut dia ada banyak dinding-dinding atau tembok yang bisa memutus hubungan warga Jakarta dengan laut dan budaya pesisir. Terlebih sekarang ada reklamasi yang dipolitisasi dan dampak ekologinya sangat besar terhadap nelayan tradisional dan kerusakan lingkungan.
Aksi jalan kaki mereka terbilang tidak biasa. Mereka menyisir pesisir dengan mencari jalan pintas, memanjat tembok, menyeberang sungai, minta izin, atau memaksa masuk ke wilayah tertentu.
Dalam sehari mereka mengunjungi satu lokasi. Perjalanan bisa memakan waktu sekitar 2-4 jam. Biasanya mereka berpindah lokasi pada sore hingga malam. Esoknya, mereka merekam aktivitas warga. Siang hari mereka istirahat sebentar mengumpulkan tenaga untuk melanjutkan perjalanan.
Kenapa jalan kaki? Pada dasarnya mereka berempat biasa jalan kaki. Selain itu, kata Irwan, Indonesia termasuk negara paling rendah penduduknya berjalan kaki. "Sehingga orang kehilangan emosinya dengan pijakan, dengan bumi," ucapnya.
Melalui jalan kaki ini, mereka ingin terkoneksi kembali dengan bumi. Dengan berjalan kaki juga, mereka merasa tidak ada jarak dinding dan suhu, berbeda dengan menaiki kendaraan. "Kalau jalan kaki, kita mencium bau yang sama, terkena resiko yang sama, juga mendengar suara yang sama."
Kegiatan Ziarah Utara Jakarta pada hari kedua, 16 Februari 2018. Instagram/Irwan Ahmett
Selama perjalanan, mereka mengandalkan Google Maps dan petunjuk dari warga. Namun kadang mereka tercengang karena peta Google menunjukkan mereka berada di atas laut tapi faktanya adalah tanah. "Berarti pulaunya buatan atau reklamasi, tapi tidak terekspos," ujar Irwan.
Mereka juga merasakan Jakarta dalam situasi yang kritis karena permukaan tanah semakin turun dan permukaan air laut semakin meningkat. Contohnya adalah Kampung Dadap dan beberapa titik di Luar Batang yang terendam.
Perjalanan selama 10 hari memberi pengalaman unik dan menarik bagi mereka. Mereka bisa makan di rumah-rumah warga. "Kalau beruntung, kami dijamu sampai kekenyangan," kata Irwan.
Untuk tidur, mereka memakai perlengkapan seperti sleeping bag, tenda, dan hammock. Mereka tidur di pinggir pantai, taman kanak-kanak, ruko, dan terminal Tanjung Priok. Namun ada saatnya mereka juga tidur di kontrakan hingga apartemen milik teman.
Tantangannya adalah urusan security. "Misalnya ada wilayah yang sudah sangat privat, untuk ambil foto saja nggak boleh. Hak-hak kita sebagai warga untuk mengakses laut sudah tidak bisa," kata Irwan. Persoalan lainnya adalah mereka sulit menemukan air bersih.
Sambil melihat situs-situs di Jakarta Utara yang tergerus globalisasi, para peziarah ini mendokumentasikan pengalaman mereka, mengumpulkan bahan story telling, dan membangun silaturahmi dengan penduduk. "Mungkin tahun depan kami membuat seperti film dokumenter tentang ziarah utara ini," ucap Irwan.
Artikel Lain: Suasana Imlek di Petak Sembilan Jakarta