TEMPO.CO, Klaten - Meski mendeklarasikan rumahnya sebagai tempat menyangrai kopi dan menjual biji kopi untuk diseduh di rumah, Ie Purnama Sidi, 49 tahun, tidak bisa menolak kedatangan para pencinta kopi yang ingin menyeruput langsung di Nggone Mbahmu Coffee Roaster.
Selain demi mereguk kopi segar yang baru disangrai, sebagian pengunjung mengaku betah berlama-lama di rumah Nggone Mbahmu karena suasananya sangat mendukung untuk sejenak lepas dari rutinitas yang melelahkan.
Lihat juga video: Ini Rahasia Sukses Bisnis Kopi Ala Anomali Coffee
“Bahkan jauh lebih nyaman dibandingkan kafe-kafe yang khusus untuk ngopi,” kata Danang Ibnu, mahasiswa semester akhir di Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Yogyakarta saat ditemui Tempo pada Kamis, 16 November 2017.
Bersama lima temannya, Danang rela menempuh perjalanan sekitar 30 menit dari Jogja demi menghabiskan waktu seharian di Nggone Mbahmu Coffee Roaster yang berada di Jalan Bhayangkara Nomor 93, Kecamatan Klaten Tengah, Kabupaten Klaten, itu
Mereka juga memborong sejumlah kopi segar untuk diseduh di kos. “Kebetulan di kos ada grinder (alat penggiling kopi) dan aeropress (salah satu alat penyeduh kopi secara manual),” kata Danang yang mengaku sudah dua kali ke Nggone Mbahmu Coffee Roaster.
Baca juga: Kopi Indonesia Berjaya di Pameran Pariwisata Dunia
Wajar jika mahasiswa asal Bogor, Jawa Barat, dan belasan pengunjung lain pada siang itu betah berlama-lama di Nggone Mbahmu Coffee Roaster. Sebab, rumah sangrai kopi yang menempati bangunan tua di atas lahan seluas 1.300 meter persegi itu memiliki taman yang asri.
Setelah melintasi gerbang dari kayu yang di atasnya terdapat besi melengkung dengan tanaman merambat, pengunjung langsung disambut jalan setapak dari batu koral. Jalan berkelok di tengah hamparan rumput hijau dan berbagai tanaman bunga itu berujung pada dua rumah bergaya arsitektur era 1950 - 1960.Pintu masuk ke area Nggone Mbahmu Coffee Roaster di Klaten. Tempo/Dinda Leo LIsty
Di satu rumah yang kecil dengan jendela-jendela kaca besar itulah Purnama dan istrinya, Warih Irwanti, sibuk meladeni pesanan sambil berbincang hal ihwal kopi dengan pengunjungnya.
Rumah bercat putih dengan interior bergaya modern-minimalis terbagi menjadi dua ruangan. Ruang depan khusus untuk Purnama menyangrai kopi tiap pagi. Sedangkan ruangan tengah untuk meja bar. Di sebelah meja bar terdapat lemari kaca dan rak yang memajang beberapa alat seduh kopi manual, toples-toples kaca berisi biji kopi, dan kemasan-kemasan kopi segar yang telah disangrai.
“Rumah tua ini dibeli ayah saya pada 1983 dan hanya dikontrakkan. Sejak 2004 rumah ini dibiarkan kosong tak terawat. Dulu rumah ini disebut Mbalokan, karena banyak kayu-kayu balok berukuran besar di halamannya,” kata Purnama di sela kesibukannya menyeduh kopi dengan metode pour over.
Nggone Mbahmu berarti milik kakek atau nenekmu. Dalam bahasa Jawa, Nggone Mbahmu adalah ungkapan yang sedikit kasar namun mengandung keakraban saat diucapkan secara bercanda. “Diberi nama Nggone Mbahmu biar semua pengunjung terjalin dalam hubungan yang akrab,” kata Purnama yang mengaku baru setahun menyelami dunia kopi.
Selain menjual biji kopi yang rata-rata disangrai dengan profil medium, Nggone Mbahmu juga melayani para pencinta kopi yang gemar menjelajahi belantara aroma dan cita rasa dari profil yang berbeda-beda. “Pernah ada satu konsumen yang minta kopi dengan cita rasa tertentu. Saya menyangrai sampai lima kali baru ketemu yang dia ingini,” kata Purnama.
DINDA LEO LISTY (Klaten)
Berita lain:
6 Tempat Wisata di Indonesia, yang Bisa Berfoto dengan Paus
Berita Terbaru Wisata Indonesia dan Dunia
Lihat juga video: Ini Cita-cita 'Tak Jelas' Pendiri Kafe Kopi Anomali