TEMPO.CO, Batang - Desa Kalipucang, Kecamatan Batang, jaraknya hanya 7 kilometer dari pusat kota Pekalongan. Di desa ini tradisi membatik yang sudah berusia ratusan tahun masih dipertahankan. Penggemar batik mengenalnya sebagai Batik Rifa’iyah. Tak ada salahnya, masih terkait Hari Batik Nasional kita mencoba mengenalnya.
Jenis batik ini, diakui Miftahutin, Ketua Kelompok Perajin Batik Rifa’iyah, tidak setenar batik daerah lain, misalnya Cirebon, Sala, atau Yogyakarta. “Karena memang dari awal orientasinya bukan untuk industri. Warga Kalipucang memilih tidak mengubah motif dan cara membatik demi melestarikan budaya dalam Rifa’iyah,” ujar dia saat ditemui Agustus lalu.
Tradisi itu dipertahankan karena batik Rifa’iyah terkait erat dengan gerakan dakwah pada masa silam. Nama Rifa’iyah merujuk pada ajaran Rifa’iyah yang dibawa ulama sejak abad ke-18 bernama KH. Ahmad Rifai.
Miftahutin mengatakan Batik Rifa’iyah memiliki sejarah panjang dan makna spiritual yang dalam. Kata dia, pendiri ajaran Rifa’iyah menggunakan kain batik ini sebagai sarana dakwah.
Batik ini dulunya digunakan sebagai sandang utama para pengikut ajaran Rifa’iyah. Selain itu juga digunakan untuk salat dan pengajian.
Baca Juga:
Pada setiap motifnya terdapat pesan-pesan spiritual untuk disebarkan kepada masyarkat luas. Seperti pesan peseduluran atau persaudaraan, gotong royong, dan kelembutan hati.
Salah satu yang menjadi ciri khas batik ini adalah penggambaran makhluk hidup yang tidak boleh utuh. “Misalnya motif bergambar ayam kepalanya harus dipisah,” kata Miftahutin
Saat ini ada 140 orang warga Kalipucang yang teguh meneruskan budaya membatik khas mereka.
Koordinator Komunitas Batang Heritage, Prasetyo Widi, mengungkapkan Rifa’iyah bukan satu-satunya produk batik di Kabupaten Batang. Di wilayah lain seperti di Kecamatan Tulis dan Wonotunggal ada masyarakat yang memproduksi batik khas Batang. Tapi jumlahnya tidak sebanyak di Desa Kalipucang.
Selain itu, di wilayah lain banyak yang beralih dari tulis ke batik cap. “Yang masih bertahan cukup bagus itu di Kalipucang,” katanya.
Namun masa depan Batik Rifa’iyah juga dalam ancaman. Pasalnya, dari 140 orang perajin, hanya segelintir anak muda yang berminat meneruskan tradisi. “Jumlahnya tidak lebih dari lima orang,” kata Miftahutin.
Ini pesan penting yang layak diperhatikan di Hari Batik Nasional kali ini.