Kisah Mbah Reso, Penenun Lurik Tradisional Klaten
Editor
MC Nieke Indrietta Baiduri
Sabtu, 9 Agustus 2014 03:39 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Reso Sentono duduk di amben bambu. Tiap hari, perempuan renta berusia sekitar 80 tahun itu bisa duduk dari matahari terbit hingga tenggelam. Sebuah kotak kayu berisi sirih, gulungan rajangan tembakau, kapur, dan pinang diletakkan di samping kirinya. Di sebelah wadah itu, ada stoples bekas untuk membuang ludah. "Pahit," katanya menjelaskan rasa menginang kepada Tempo, Rabu sore, 6 Agustus 2014.
Mbah Reso, demikian ia biasa disapa, adalah seorang penenun lurik tradisional. Ia tinggal di Dukuh Nglengkong, Desa Nanggulan, Kecamatan Cawas, Klaten, Jawa Tengah. Meski pahit, agaknya kinang itulah teman setianya menenun lurik secara manual. "Dulu banyak yang menenun dengan cara itu, tapi sekarang tinggal saya sendiri," katanya dalam bahasa Jawa.
Berbekal por, demikian ia menyebut sebatang kayu sepanjang 1,5 meter yang dikaitkan di pinggang, apit--kayu penjepit deretan benang, serta blabak--kayu berisi gulungan benang, Mbah Reso membuat lurik. Semua alat itu ditempatkan di atas amben di teras rumahnya yang berlantai tanah.
Salah satu yang unik dari alat produksi tenun ini adalah sisir benang. Sementara sisir penenun pada alat tenun bukan mesin biasa terbuat dari kawat, sisir tenun yang digunakan Mbah Reso terbuat dari rautan bilah bambu. "Kalau rusak, di pasar ada yang jual," katanya tentang sisir tenunnya. Adapun por, apit, dan blabak yang kini dipakainya, ia melanjutkan, adalah peninggalan orang tuanya. (Baca juga: Batik Centil)
<!--more-->
Mbah Reso mengatakan tak tahu pasti sejak usia berapa mulai menenun. Yang jelas, keterampilan itu didapat dari ibunya yang juga penenun lurik. Meski saban hari membuat lurik, ia juga tak tahu pasti perhitungan jam kerjanya. Ia mulai bekerja ketika matahari terbit dan sinarnya mampu menerangi. Demikian juga ketika matahari tenggelam dan sinarnya mulai berkurang, ia akan mengakhiri pekerjaannya.
Karena dibuat secara manual, lurik buatan Mbah Reso tak rapi. Anyamannya kasar, pori-pori kainnya pun besar. Ukurannya juga tak selebar kain lurik yang dijual di pasaran. "Saya hanya buat lurik gendong," katanya.
Lurik ini biasa memiliki lebar setengah meter dan panjang 2 meter. Dengan motif warna hitam dan putih, kain ini lazim digunakan untuk menggendong bakul dan barang. Di pasar-pasar tradisional di Jawa, kain bisa ditemui untuk pengikat tenggok pada punggung perempuan pedagang. Jika tak sakit, Mbah Reso bisa membuat selembar lurik gendong dalam waktu dua hari. "Tubuh saya ini sudah tak mempan kena obat," katanya.
Seorang pegiat fotografi asal Klaten, Albertus Magnus Kus Hendratmo, mengatakan Cawas adalah sentra kerajinan lurik di Klaten. Lurik itu dibuat oleh perajin kecil rumahan dengan menggunakan alat tenun bukan mesin. "Yang tradisional nyaris tak ada," ujarnya. Ia mengingat, beberapa waktu lalu, penenun lurik secara tradisional di Cawas, bahkan se-Klaten, tersisa dua orang saja. Itu pun sudah berusia tua. Satu di antaranya adalah Mbah Reso.
Meski penenun tradisional di Klaten telah langka, produk Mbah Reso tetap digemari di pasaran. Seminggu sekali, seorang tengkulak datang ke rumahnya untuk membeli lurik gendong buatannya. Kain itu lantas dijual kembali di Pasar Cawas. Yang membuat miris adalah Mbah Reso menjual lurik buatannya hanya Rp 20 ribu per lembar. "Buat beli benangnya saja berapa," kata Magnus. Taruhlah separuh dari hasil penjualan itu dimanfaatkan untuk membeli bahan baku, itu artinya tenaga dan keterampilannya hanya seharga Rp 5.000 per hari. (Baca: Batik Banyumasan Melirik Bahan Kain Tenun Lurik)
ANANG ZAKARIA
Berita Lainnya:
Jember Fashion Carnival Digelar 21-24 Agustus
Denpasar Gelar Festival Budaya Anak-anak
Trafique Coffee, Ngopi di Tengah Macet