Tradisi Ogoh-Ogoh Masyarakat Hindu Bali sebelum Hari Raya Nyepi, Mengapa Setelahnya Dibakar?
Reporter
Rachel Farahdiba Regar
Editor
S. Dian Andryanto
Selasa, 21 Maret 2023 08:40 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Ogoh-ogoh merupakan suatu representasi dari perwujudan roh jahat ataupun sifat jahat yang ditunjukkan dalam bentuk patung atau boneka besar. Ogoh-ogoh terbuat dari bahan-bahan seperti kertas, gabus sintetis, karet, dan lain sejenisnya.
Ogoh-ogoh dalam kamus bahasa jawa ataupun sansekerta tidak teridentifikasi, tetapi menurut kamus bahasa Bali, ogoh-ogoh dapat diartikan sebagai sebuah patung yang dibuat dari bahan dasar bambu dan kertas berbentuk Butha Kala atau raksasa. Ogoh-ogoh menjadi suatu tradisi yang dilakukan suatu acara tertentu, misalnya ketika perayaan tahun baru Saka atau Nyepi, upacara bersih desa, dan lain sebagainya.
Terdapat beberapa argumen tentang sejarah lahirnya ogoh-ogoh, ada yang menyatakan bahwa asal usul ogoh-ogoh bermula dari patung lelakut dengan fungsinya untuk mengusir burung pemakan hasil tani di persawahan. Argumen lainnya menyatakan bahwa awalnya ogoh-ogoh merupakan tradisi ngelawang oleh kesenian ndong-nding yang ada di daerah Karangasem dan Gianyar, Bali, sebagaimana terangkum dalam buku Ogoh-Ogoh.
Bagi umat Hindu yang secara finansial mampu atau memiliki dana cukup banyak, disarankan untuk membuat acara pawai ogoh-ogoh sebagai rangkaian Hari Raya Nyepi. Namun, lambat laun, ogoh-ogoh kini tidak lagi sebagai suatu bentuk rangkaian Hari Raya Nyepi, tetapi sebagai media promosi dan pariwisata di Pulau Dewata.
Bukan hanya umat Hindu saja yang berpartisipasi dalam pelaksanaan pawai ogoh-ogoh, melainkan masyarakat Bali secara umum, baik beragama Kristen maupun Islam terlibat dalam membuat sukses tradisi ini. Ogoh-ogoh dibalut menjadi wadah kreativitas masyarakat Bali dalam menciptakan suatu patung raksasa sebagai tradisi turun-temurun.
Pawai ogoh-ogoh menjadi tahapan ketiga yang dilakukan pada sore hari usai upacara tawur kesanga dan sembahyang tilem dalam rangkaian Hari Nyepi oleh umat Hindu. Adapun, upacara tawur kesanga adalah tingkatan upacara yang dilangsungkan satu hari sebelum Nyepi. Sebelum melaksanakan tawur kesanga, umat Hindu lebih dahulu melakukan upacara melasti yang dapat dilakukan sejak tujuh hari sampai minimal dua hari sebelum dilaksanakannya catur brata penyepian (upacara Nyepi).
Merujuk Jurnal Antro, nantinya, ogoh-ogoh dipanggul 12 pemuda dengan berbagai latar belakang agama yang mengenakan kaos seragam pemberian panitia pelaksana tradisi pawai ogoh-ogoh. Pakaian tersebut dilengkapi dengan atribut dari agama Hindu, yaitu menggunakan blangkon (udeng) dan jarik batik. Pemuda yang mengguna seragam ini memiliki arti sebagai tanda pengenal dan terlihat kompak sebagai satu kesatuan kelompok pengangkat ogoh-ogoh.
Kemudian, ogoh-ogoh akan diarak di sepanjang jalan yang sudah ditentukan oleh kelompok masyarakat setempat. Pada setiap perempatan, ogoh-ogoh akan dihentakan ke bawah dan ke atas, lalu diputar sebanyak tiga kali. Tindakan dihentakan dan diputar ini memiliki arti untuk memanggil dan menarik perhatian dari roh-roh jahat yang ada di sekitar wilayah setempat. Setelah itu, barulah langkah terakhir pawai ogoh-ogoh adalah dibakar.
Usai diarak, ketika matahari sudah tenggelam, ogoh-ogoh tersebut dibakar dengan tujuan segala macam bentuk kejelekan dan keburukan yang ada di wilayah setempat dapat lenyap. Dengan begitu, umat Hindu yang akan melaksanakan ibadah Hari Raya Nyepi keesokan harinya dapat nyaman dan tenang.
Pilihan Editor: Kemeriahan Pawai Ogoh-ogoh Menyambut Hari Raya Nyepi di Solo
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “http://tempo.co/”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.