TEMPO.CO, Situbondo - Saya suka berlama-lama menikmati sore di Pelabuhan Panarukan, Situbondo, Jawa Timur. Alasannya cuma satu, karena pelabuhan ini memiliki senja yang sempurna. Mentari bulat memancarkan sinar jingganya. Permukaan laut yang tenang seperti cermin, memantulkan jingga ke seluruh sudut pelabuhan.
Cantiknya senja seolah menjadi penghibur tatkala melihat kondisi Pelabuhan Panarukan yang tak terawat. Ya, saya nyaris tak menemukan jejak kejayaan pelabuhan di ujung Jalan Raya Pos Daendels ini. Di setiap sudutnya hanya terlihat kekumuhan karena sampah yang menumpuk. Pelabuhan kian sempit karena dijejali rumah-rumah penduduk.
Hanya ada dua bangunan peninggalan masa lalu yang masih berdiri. Pertama adalah mercusuar berwarna putih yang menjulang setinggi 50 meter di pinggir dermaga. Mercusuar ini dibangun 1886, bersamaan dengan beroperasinya Pelabuhan Panarukan sebagai pelabuhan internasional.
Kedua adalah bangunan bekas gudang tembakau berukuran 250 meter x 150 meter. Kondisinya tak kalah mengenaskan, dengan atap bolong di sana-sini dan kulit temboknya mengelupas. Gudang tersebut kini disewakan ke salah satu pengusaha asal Bali yang mengolah barang daur ulang.
Turisno, salah satu warga sekitar pelabuhan, bercerita, di tahun 1960-an Pelabuhan Panarukan masih cukup ramai. Setiap harinya kapa-kapal ekspor masih mengangkut berbagai komoditas seperti tembakau, kopi, kakao dan gula.
Lima puluhan kapal perdagangan antarpulau juga memadati dermaga. “Sekarang satu bulan cuma 30 kapal dari Madura yang singgah,” kata pria 60 tahun ini, pertengahan Mei lalu.
Pelabuhan Panarukan ini dulunya dikelola oleh perusahaan pelayaran bernama Panaroekan Maatchapiij Not Het Drivjen Van Commissi Handel en Prauwen. Perusahaan tersebut didirikan oleh George Birnie, salah satu pemilik perkebunan tembakau ternama di Jember.
Sejarawan dari Universitas Negeri Jember, Edy Burhan Arifin, mengatakan, Pelabuhan Panarukan tergolong modern pada zamannya. Pelabuhan dilengkapi dua dermaga untuk kapal ekspor dan perdagangan antarpulau. Dermaga untuk ekspor dibangun sepanjang 180 meter ke tengah laut, agar memudahkan sandarnya kapal-kapal berukuran besar. “Dermaga ekspornya sudah dibongkar,” katanya.
Untuk menyimpan komoditas, Panaroekan Maatchapiij mendirikan sekitar 15 gudang yang diberi tanda huruf A hingga 0. Setiap gudang berukuran ribuan meter. Di gudang-gudang itulah komoditas dari Situbondo, Jember dan Bondowoso disimpan sebelum diangkut ke Eropa.
Setelah Indonesia merdeka, Panaroekan Maatchapiij akhirnya dinasionalisasi menjadi Veem Kertanegara. Kemudian pada 1970, Panarukan dikelola oleh PT Djakarta Lloyd. Saat dikelola perusahaan plat merah inilah, Panarukan mengalami kemorosotan.
Penyebab kemerosotan, di antaranya, buruknya manajemen. Banyak staf perusahaan yang melakukan korupsi dengan menggelapkan barang-barang di gudang. Faktor kedua, Pelabuhan Panarukan mengalami pendangkalan dari material yang dibawa dua sungai besar yakni Sungai Sampean dan Sungai Klatakan.
Akhirnya Pelabuhan Panarukan benar-benar meredup menjelang 1980. Aktivitas ekspor kemudian dipindahkan ke Pelabuhan Meneng (sekarang, Pelabuhan Tanjung Wangi) di Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur. Pasca-bubarnya Djakarta Lloyd Cabang Panarukan, otoritas pelabuhan saat itu membongkar hampir seluruh infrastruktur. Mulai pergudangan, perkantoran dan terakhir dermaga bersejarah untuk kapal-kapal ekspor.
Saya akhirnya memilih duduk di bekas dermaga sambil menunggu senja. Puluhan kapal-kapal nelayan di hadapan saya kosong terikat jangkar. Hanya dua nelayan yang terlihat memperbaiki bagian kapal. Dari sisi barat, Gunung Argopuro menjulang melengkapi panorama bertemunya Selat Madura dan Selat Bali ini.
Pukul 17.00, senja yang saya nanti akhirnya datang. Jingga memendar ke langit yang sedang jernih. Permukaan laut memantulkan senja dengan sempurna. Ya inilah Panarukan, yang kebesarannya kini tinggal kenangan.
IKA NINGTYAS