TEMPO.CO , Singapura:Ingin mencicipi masakan peranakan Melayu Cina asli di Singapura? Jangan lupa mampir ke Jalan Joo Chiat, di jalan ini terdapat restoran peranakan Melayu-Cina satu-satunya yang menyediakan makanan halal di Singapura. Restoran ini dikenal dengan nama Casa Bom Vento.
"Kami satu-satunya penyedia masakan halal di restoran peranakan yang ada di Singapura," ujar Lionel Chee, Pemilik Casa Bom Vento, saat ditemui di Joo Chiat Road Nomor 477, Singapura, Rabu 27 Mei 2015. Restoran ini cukup unik karena menyediakan lauk yang jarang ditemui di luar Indonesia, yaitu petai.
Di Casa Bom Vento, petai disajikan layaknya lauk di rumah makan Sunda Sari Kuring. Menggunakan sambal terasi, namun dengan biji cabai yang cukup besar. Sambalnya memiliki tingkat pedas dan biasanya dimakan bersama sepiring hangat nasi Hainam.
Adapula menu daging rawon, yaitu daging sapi yang dimasak hitam menggunakan keluwak, hanya saja kuahnya tidak sebanyak kuah rawon Jawa Timur. Bumbu hitam pada kuah rawonnya lebih kental dan terasa manis.
Casa Bom Vento juga menyediakan makanan - makanan halal lain, terutama yang terbuat dari bumbu kari. Namun dari semua makanan, menu yang paling enak adalah Baby Stingray Barbequeu atau ikan pari muda bakar. "Sultan Brunei pernah mampir ke sini, memesan dan sangat menyukai menu ini," kata Lionel.
Restoran yang dibuka tahun 1995 ini sering tutup seharian karena dipesan secara keseluruhan oleh pengunjung atau pelanggannya. Seperti malam ini, ketika Tempo bersama rombongan dari Singapore International Foundation (SIF) mengunjungi restoran Casa Bom Vento, satu ruangan sengaja ditutup untuk tamu.
Lionel Chee sebagai pemilik rumah makan memasak sendiri makananannya. Dia sengaja memasak sendiri demi melestarikan bumbu sekaligus mempertahankan budaya sajian peranakan, Tok Panjang atau meja makan panjang yang terdiri dari 36 menu untuk tamu-tamunya.
"Singapura adalah satu-satunya negara yang menerapkan sistem cooking frontier atau mengidentifikasi bumbu tidak dari buku, melainkan menyicip langsung dari wadah masak," kata Lionel. Dengan begitu, rasa tetap terjaga dan terpantau dengan baik. Apakah tidak repot? Lionel mengakui, konsep ini justru sangat merepotkan, tapi demi melestarikan sejarah budaya asli Singapura, Lionel mengaku, usahanya tidak dapat dibandingkan dengan kerepotan apapun.
CHETA NILAWATY