Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Sedapnya Sate Karak Kampung Arab di Jalur Daendels

Editor

Rini Kustiani

image-gnews
Sate Karak di Surabaya. TEMPO/Artika Rachmi Farmita
Sate Karak di Surabaya. TEMPO/Artika Rachmi Farmita
Iklan

TEMPO.CO, Surabaya - Kalau ke Surabaya, jangan lupa mampir ke Kampung Arab di kawasan Ampel. Di sana, anda akan menemui surga kuliner yang beragam. Tak perlu jauh-jauh ke Timur Tengah, nasi briyani, nasi kebuli, gulai kambing, kambing oven madu, dan berbagai pangan khas bertebaran, menggoda untuk dicicipi.

Tapi, sudah mencoba sate karak belum? Kalau anda orang Jawa, alis anda mungkin mengernyit begitu mendengar kata ‘sate karak’. Tempo sendiri mengira, karak berarti nasi yang sudah hampir basi. Bagaimana mungkin orang berjualan nasi basi? Tapi begitu disuguhkan, anda pasti langsung tersenyum manis.

Sate karak yang disuguhkan warung di Jalan KH Mas Mansyur, depan Gang Ampel Lonceng ini penampilannya eksotis. Bukan nasi basi, melainkan nasi ketan hitam dengan cita rasa yang berbeda.

Ellis Romlah, si pemilik warung mengklaim hanya dia yang berjualan sate karak di Surabaya. Seperti kebanyakan makanan legendaris, resepnya turun temurun dari neneknya, Rasminten. “Nenek saya dari dulu sudah jualan begini. Tapi saya nggak ingat tahun berapa, sudah lama sekali,” katanya sambil membakar sate pesanan saya.

Nasi sate karak dimasak dari campuran ketan hitam dan beras. Perbandingannya, 2 kilogram beras dicampur dengan 1 kilogram ketan hitam. Sehingga tak heran warna nasinya menghitam, tertular si ketan hitam. Sehari ia bisa menghabiskan 10 kilogram nasi karak dan 7 kilogram daging plus usus sapi.

Yang bikin terasa nikmat adalah satenya. Sate terdiri dari potongan besar daging sapi berikut lapisan lemaknya. Ada juga pilihan sate usus berukuran besar. Daging dan usus itu diracik menggunakan bumbu jangkep, yakni rempah-rempah lengkap dengan komposisi rahasia. Sayangnya, Ellis Romlah tak menawarkan daging tanpa lemak. “Kalau pesan, bisa saya bikinkan sate daging saja,” tambahnya.

Begitu tersaji di meja, aroma dan tampilan sate karak begitu menggoda. Lima tusuk sate berwarna keemasan dengan sedikit gosong pembakaran dan nasi ketan hitam yang ditaburi parutan kelapa segar.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Di sisi lain, ada sedikit taburan bubuk kedelai yang menghiasi. Rasanya? Perpaduan unik gurihnya rempah-rempah dan ketan berikut parutan kelapa khas jajanan pasar.

Perempuan asal Kwanyar, Bangkalan, Madura itu sempat menawarkan nasi putih biasa jika pengunjung tak suka nasi karak. “Kalau nasi putih, taburannya bukan kelapa parut biasa, tapi serundeng kelapa,” ujarnya. Saya lihat, sekilas mirip taburan kelapa nasi krawu-nya Gresik.

Harganya terjangkau untuk seporsi dengan 5 tusuk sate berukuran besar, yakni Rp 9.000 saja. Ellis membuka warungnya antara pukul 16.00 hingga tengah malam. Waktu yang pas untuk berburu kuliner malam.

Gusti Hamdan, seorang kawan semasa kuliah saya mengatakan, karak adalah panganan yang biasa dia santap bersama keluarga, termasuk sate karak itu. “Di pasar Sidotopo ada dua orang penjual sate karak, tapi sesekali juga makan di Ampel situ. Rasanya memang lezat, campuran gurihnya ketan, pedasnya sambal, dan bumbu sate,” ujarnya.

Mana yang lebih dulu berjualan, bukan jadi masalah. Kalau ingin menu yang bebas dari petis udang di Kota Pahlawan, silakan coba sate karak satu ini.

ARTIKA RACHMI FARMITA

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Catatan Sejarah Paris van Java Menjadi Julukan Kota Bandung

26 September 2022

Suasana lengang di sekitar Jalan Asia Afrika di kawasan pusat Kota Bandung, Ahad, 3 April 2022. Hari pertama Ramadan, kawasan ini sepi aktivitas dibanding akhir pekan biasanya yang ramai wisatawan melihat aksi cosplay berkostum unik. TEMPO/Prima Mulia
Catatan Sejarah Paris van Java Menjadi Julukan Kota Bandung

Julukan Paris van Java untuk Kota Bandung mulai mencuat ketika acara Kongres Internasional Arsitektur Modern di Swiss pada Juni 1928.


Hari Ini 212 Tahun Lalu, Kota Bandung Diresmikan Daendels

25 September 2022

Warga menonton festival Tari Ketuk Tilu di depan Gedung Sate, Bandung, Jawa Barat, Jumat, 19 Agustus 2022.  Tari Ketuk Tilu yang merupakan cikal bakal dari Tari Jaipong tersebut ditampilkan sebagai kemeriahan peringatan HUT ke-77 Provinsi Jawa Barat yang diikuti sedikitnya 1.000 warga Jawa Barat. ANTARA/Novrian Arbi
Hari Ini 212 Tahun Lalu, Kota Bandung Diresmikan Daendels

Herman Williem Daendels meminta Bupati Bandung dan Bupati Parakanmuncang memindahkan ibu kota kabupaten melalui surat tanggal 25 Mei 1810.


Kelenteng-kelenteng di Jalan Raya Pos Daendels

12 Februari 2018

Warga Tionghoa membersihkan patung Dewa-Dewi di Klenteng Hok Tek Bio, Salatiga, Jawa Tengah, 9 Februari 2018. Ritual pembersihan patung Dewa-Dewi yang berada di klenteng yang telah berusia 146 tahun itu untuk menyambut Tahun Baru Imlek 2569 yang jatuh pada 16 Februari mendatang. ANTARA FOTO/Aloysius Jarot Nugroho
Kelenteng-kelenteng di Jalan Raya Pos Daendels

Pada Cap Go Meh, arak-arakan joli yang diikuti liong dari kelenteng-kelenteng itu ada yang melewati jalan Daendels.


Senja yang Sempurna di Jalur Daendels

28 Mei 2015

Peta Jalan Raya Pos yang tertera di atas Prasasti titik 0 (nol) Kilometer pembangunan Jalan Anyer-Panarukan di Pantai Bojong, Anyer, Kabupaten Serang, Jumat, 15 Mei 2015. Jalan dikerjakan dengan sistem kerja rodi pada Pemerintahan Gubernur Jenderal HIndia Belanda yang ke-36, Herman Willem Daendels. TEMPO/Dhemas Reviyanto
Senja yang Sempurna di Jalur Daendels

Nyaris tak ada jejak kejayaan pelabuhan di ujung Jalan Raya Pos Daendels ini.


Kisah Seniman Pembuat Lukisan Bak Truk di Jalur Pantura

27 Mei 2015

Sebuah lukisan di karoseri bak truk kayu yang melintasi Jalan Siliwangi, Pantura, Jawa Tengah,  19 Mei 2015. TEMPO/Budi Purwanto
Kisah Seniman Pembuat Lukisan Bak Truk di Jalur Pantura

Tren lukisan di bak truk bergeser ke model stiker. Tetap khas dengan gambar nakal dan kalimat jail.


Kisah Mayat di Alas Roban

27 Mei 2015

Kawasan Alas Roban, Jawa Tengah. Tempo/Budi Purwanto
Kisah Mayat di Alas Roban

Jalan Daendels membelah Alas Roban yang terkenal angker dan rawan kejahatan. Jadi tempat pembuangan mayat.


Prostitusi Pantura di Jalan Raya Pos

27 Mei 2015

Warung remang-remang di sepanjang Kawasan Alas Roban, Batang, Jawa Tengah. TEMPO/Budi Purwanto
Prostitusi Pantura di Jalan Raya Pos

Prostitusi di jalur Pantura tumbuh sejak zaman Belanda. Titik lokalisasi mengikuti tempat istirahat para sopir truk.


Jembatan Ini Dulu Bertiang Pancang Manusia

27 Mei 2015

Jembatan Sembayat di kawasan Kec. Manyar, Gresik, Jawa Timur, 11 Mei 2015.  TEMPO/Aris Novia Hidayat
Jembatan Ini Dulu Bertiang Pancang Manusia

Jadi alat untuk menghukum penduduk karena jembatan tak kunjung selesai


Misteri Makam Diduga Korban Kerja Paksa Jalan Daendels

27 Mei 2015

Jalan di Kawasan Cadas Pangeran, Sumedang. Tempo/Tony Hartawan
Misteri Makam Diduga Korban Kerja Paksa Jalan Daendels

Korban kerja paksa pembangunan Jalan Raya Pos diperkirakan juga dikubur langsung di sekitar Cadas Pangeran.


Daendels Tak Begitu Dikenal di Kota Kelahirannya

27 Mei 2015

Herman Willem Daendels, Gubernur-Jenderal Hindia Belanda. Wikimedia.org
Daendels Tak Begitu Dikenal di Kota Kelahirannya

Di kota kelahirannya sendiri, Hattem, jejak jenderal bertangan besi ini hanya terdapat di Museum Voerman, museum sejarah Kota Hattem.