TEMPO.CO, Situbondo - Tugu setinggi tiga kilometer itu tersembunyi di belakang rumah warga Panarukan, dikelilingi area pertanian padi yang subur menghijau. Orang kampung setempat menamainya Tugu Portugis.
Berujung lancip, tugu ini dipercaya sebagai satu-satunya peninggalan Portugis di Kecamatan Panarukan, Kabupaten Situbondo, Jawa Timur. Letaknya di sisi timur Sungai Sampeyan, Dusun Peleyan Barat, Desa Peleyan, Panarukan.
Jangan berharap ada papan penunjuk jalan menuju tugu ini. Saya hanya berbekal informasi dari Internet dan bertanya kepada tiga warga sekitar hingga menemukan lokasi tugu ini. Letaknya sekitar 2 kilometer dari monumen 1.000 KM Anyer-Panarukan.
Suniyah, warga setempat, mengatakan tugu ini sering didatangi pengunjung baik dari Surabaya dan Jakarta. Menurut Suniyah, tugu ini sudah ada ketika dia masih kanak-kanak. “Orang tua bercerita, tugu ini dibuat orang Portugis,” kata perempuan 50 tahun ini, Rabu, 13 Mei 2015.
Kondisi tugu itu memprihatinkan. Bopeng di mana-mana. Warna putihnya lusuh, dan dikepung ilalang di pinggirnya. Dari bagian yang bopeng, saya bisa melihat batu bata yang tersusun berukuran tebal dan besar. Tidak ada informasi yang tertulis di tugu ini.
Sejarawan Universitas Negeri Jember, Edy Burhan Arifin, mengatakan tugu itu satu-satunya peninggalan Portugis yang tersisa di Panarukan. Portugis datang dan mendirikan bandar dagang di sisi timur Sungai Sampeyan pada abad ke-16.
Sungai Sampeyan adalah sungai terbesar di Situbondo yang bermuara langsung ke laut Panarukan. “Dulu Sungai Sampeyan lebih dalam, sehingga kapal-kapal besar bisa masuk,” katanya, Rabu, 13 Mei 2015.
Edy menjelaskan, Pelabuhan Panarukan dulu menjadi satu-satunya pelabuhan besar di ujung timur Jawa. Panarukan sudah dikenal sejak era Majapahit. Puncaknya, ketika Raja Hayam Wuruk memilih Panarukan sebagai tempat pertemuannya dengan raja-raja dari timur.
Selain membangun bandar ekonominya di Pelabuhan Panarukan, Portugis menjadikan Panarukan sebagai pusat misionaris di ujung timur Jawa. Sejumlah gereja Katolik sempat didirikan di daerah yang dulunya pusat Kerajaan Blambangan ini. Karena ada ekspansi Islam dan perebutan kekuasaan, gereja-gereja tua akhirnya dihancurkan.
Menurut Edy, besarnya nama Panarukan pada masa silam membuat Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels memilihnya sebagai ujung Jalan Raya Pos, jalan sepanjang seribu kilometer yang dibangun dari Anyer. Daendels tahu betul Panarukan berpotensi besar sebagai daerah pertahanan dan ekonomi.
“Komoditas-komoditas penting dari ujung timur Jawa bisa dikirim lewat Panarukan,” kata penulis buku Quo Vadis Hari Jadi Situbondo ini.
IKA NINGTYAS