TEMPO.CO, Kudus--Berkunjung ke tempat wisata, tentu tidak lengkap jika belum mencicipi makanan khasnya. Begitu pun para wisatawan berkunjung ke Gunung Muria, Kecamatan Dawe, Kabupaten Kudus. Setelah berziarah ke Makam Sunan Muria (Umar Said), Syeh Syadzali dan Air Terjun Monthel, akan terasa hampa jika belum merasakan kuliner pecel pakis, yang tidak mudah ditemukan di daerah lain.
Pecel pakis di kawasan wisata Muria dikenalkan mBok Yanah, yang kemudian usaha warungnya diturunkan putrinya Sulyati. "Pecel pakis sudah dikenalkan ibu sejak tahun 1960-an," kata Sulyati, yang membuka usaha warungnya tidak jauh dari tempat peristirahatan Pesanggrahan Muria (10/4). Menu pecel pakis juga banyak dijumpai di warung lain, di lokasi wisata Muria, misalnya ke warung Jasmini, di komplek air terjun Monthel.
Menikmati pecel pakis, justru memunculkan sensasi tersendiri. Sebab, pecinta kuliner bisa menikmati menu pecel, sembari menikmati udara dingin pegunungan dan pemandangan alam yang hijau. Juga, penikmat kuliner dengan seizing pemilik warung, bisa menikmati pecelnya di atas batu-batuan gunung yang besar disekitar air terjun Monthel.
Bumbu pecel terdiri atas bawang putih, kencur, jeruk wangi, gula merah, buah asem dan sedikit garam. Cara meraciknya, semula bumbu- bumbu tersebut kecuali gula dan garam, digoreng dengan minyak goreng. Kemudian menyusul kacang tanah digoreng tersendiri. Lalu, setelah semuanya matang, kacang tanah, berikut bumbunya ditumbuk atau digiling dengan halus. Diperlukan sedikit air matang untuk mencairkannya.
Sementara daun pakis-- sebagai tanaman khas Muria, kacang panjang, bayam, taoge dan sayur lain dipotong- potong sebelum direbus matang. Untuk penyajiannya, nasi ditaruh di piring, lalu di atasnya diberi sayur mayur, baru kemudian diberi bumbu pecelnya, dan selanjutnya siap dihidangkan. Variasi lauk tambahan sangat banyak, misalnya ayam goring, ayam bakar, botok jeroan, rempela dan tahu-tempe.
Para pecinta kuliner tidak perlu khawatir harus merogoh kocek terlalu dalam, karena harganya sangat murah. "Satu porsi nasi pecel hanya Rp 4.000," kata Hj. Jasmini, yang sudah berjualan di komplek air terjun selama 35 tahun. Sehari, Hari biasa, Sulyati maupun Jasmini bisa menghabiskan 10 ekor ayam dan bias membawa pulang Rp 300-400 ribu sehari. Jika hari libur, penghasilan mereka berlipat.
Minuman pelengkapnya kopi Muria. "Kopi Muria sangat lezat, beda dengan kopi daerah lain," kata Suharna, salah satu penziarah Makam Sunan Muria asal Bandung. "Pecel pakis cukup enak. Juga kopinya. Setiap kali ke Muria selalu menikmatinya," Cecep, rekan Suharna. Kopi Muria yang ditanam di lereng gunung itu pada ketinggian sekitar 500 meter dari permukaan air laut dan punya sejarah panjang dan memiliki historis yang kuat dengan bangsawan Belanda.
Kopi Muria adalah jenis robusta, sudah secara temurun ditanam pada zaman penjajahan Belanda. Lahan perkebunan kopi dikelola oleh petani setempat. Bahkan, ketika zaman penjajahan Belanda, para bangsawan Belanda menjadikan sebagai salah satu minuman andalannya. Cerita dari mulut ke mulut yang dituturkan petani kopi asal Desa Colo, Kecamatan Dawe, Kudus, setiap panen bangsawan Belanda selalu meminta jatah untuk dikirim ke Holand. Sejak itu, Muria Caffe, sebutan kopi asal Colo, menjadi sajian wajib nenek moyang Bangsawan Belanda.
"Setahu saya, sejak pemerintahan Ratu Wilhelmina dan Ratu Yuliana, Muria Caffe menjadi minuman pilihan kalangan bangsawan Belanda," kata Suyoto (74), yang pernah menjadi Kepala Desa Colo periode 1967-1998. Cerita itu berasal dari Atmowidjojo, orang tua Suyoto, yang ketika itu menjadi mandor perkebunan Belanda.
Sedangkan dari kakeknya, Kertoleksono, yang ketika itu menjadi Lurah Colo, tanaman kopi terlindung dengan pohon Pandan Gunung, vegetasi hutan lindung dan pohon Mranak.Sejak itu, tanaman kopi menjadi nafas hidup bagi warga Colo dan warga desa sekitarnya. Pada masa itu, petani diwajibkan membagi hasil kopi melalui 'Centhakan' sebagai upeti kompeni. Lahan kopi Colo dari dulu hingga sekarang sekitar 90 hektare. Hasil dari berkebun kopi, kata Suyono, dapat meningkatkan taraf hidup petani. Hal ini terlihat, yang sebelumnya rumah mereka beratap daun rumbia, kini sebagian besar sudah berdinding batu bata dan beratap genteng.
Menurut Kepala Desa Colo, Demung Fallah, jumlah petani kopi di Colo ada sekitar 600 orang dan masing- masing petani memilikibeberapa kotak, dan satu kotak luasnya 1.400 meter persegi. "Mereka tergabung dalam kelompok tani Relung Muria," kata Demung. Harga kopi kering di daerah itu Rp 22 ribu per kilogram. Agar budidaya kopi tidak hilang dari Colo, menurut Demung, pihak desa telah meminta kepada pemilik lahan kebun kopi melibatkan perawatannya pada anak keturunannya.
Kopi Muria selain diminati dalam negeri, juga dilirik oleh investor asing. "Kopi Muria diminati investor asal Swiss. Kini, tengah dilakukan penjajakan untuk kemungkinan dilakukan kerja sama," kata Eko Djumartono, Pejabat Kepala Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu Kabupaten Kudus. Investor asal Swiss, kata Eko, melakukan penjajakan ketika pada acara Central Java Investment Business Forum 2012 di Jakarta. "Mereka berkeinginan mengembangkan komoditas kopi dari Desa Japan dan Colo, Kecamatan Dawe," kata Eko. Investor dari Swiss itu selama ini memang bergerak di bidang usaha kopi, dan kopi yang diliriknya berasal daerah pegunungan dengan ketinggian 500 meter dari permukaat laut.
Untuk daerah Kudus, kopi muria ditanam di areal 300 hektare di Desa Japan, Colo, Ternadi dan Soco. Menurut Nuryati petani asal Desa Japan, hasil panenny dibeli oleh tengkulak. Para pengepul atau tengkulak jemput bola atau mendatangi ke kebun milik petani yang sudah dipetik. Sehingga petani tidak kehilangan biaya operasional. "Saya dapat Rp 6 juta," kata Temu, pemilik lahan satu hectare, asal Desa Ragtawu, Kecamatan Gebog, Kudus. Kebun kopi milik Temu, diperlukan perawatan tiga kali dalam setahun dan setiap kali perawatan hanya menghabiskan biaya Rp 150 ribu. Harga kopi di Kudus banyak ditentukan para tengkulak. "Masalahnya petani di sini tidak memiliki hubungan langsung kepada pedagang grosir, dan lebih ditentukan oleh tengkulak," kata Soleh, petani kopi setempat.
BANDELAN AMARUDIN
Topik Terhangat:
Serangan Penjara Sleman || Harta Djoko Susilo || Nasib Anas