TEMPO.CO, Purwokerto - Alat tenun dari kayu itu terus bergerak, memilin benang satu per satu menjadi kain lurik. Kain tenun lurik yang digunakan untuk dilukis batik itu merupakan bentuk ikhtiar menyelamatkan batik Banyumasan dari kepunahan. “Kalau tidak kreatif dan membuat inovasi baru, batik Banyumasan bisa punah,” kata Slamet Hadi Priyanto, pemilik rumah batik Banyumasan, di Kecamatan Banyumas, Ahad, 10 Februari 2013.
Ia kini adalah salah satu dari 10 pengusaha batik yang masih bertahan di sentra kerajinan batik bekas ibu kota Banyumas itu. Di kota lama Banyumas ini, ia mengumpulkan pembatik yang rata-rata sudah sesepuh ini untuk kembali membatik. Tak hanya batik tulis, cap dan cetak, sejak 2008 ia mulai membuat batik dengan kain dasar yang dibuat dari tenun lurik. Alat tenun ia dapatkan dari sebuah pabrik tenun sutra yang sudah bangkrut di daerah itu.
Usaha batik keluarganya sudah dibangun sejak 1957 oleh kakeknya, Kwee Lie Go. Ia sendiri merupakan generasi ketiga yang melanjutkan usaha itu. Saat itu, di Banyumas sebenarnya banyak pengusaha batik yang membuat batik Banyumasan. Salah satu di antara yang terkenal yakni Batik R atau Rosidi yang dulu bermarkas di Villa Krandji. Villa paling tua di Banyumas ini kini sudah rata dengan tanah karena akan dibangun supermal.
Batik Banyumas, kata dia, susah berkembang karena minimnya minat pembatik muda. Generasi muda saat ini, kata dia, lebih memilih untuk bekerja di sektor formal dan enggan belajar membatik dari orang tuanya. Batik Banyumasan, kata dia, lebih laku dijual di Jawa Tengah hingga Jawa Barat. “Orang Yogyakarta dan Solo susah menerima batik Banyumasan, karena beda pakem,” kata dia.
Dalam sehari, kata dia, rumah batiknya mampu menghasilkan 60 potong kain batik. Para pembatik kebanyakan merupakan buruh tani. Saat musim tanam dan panen tiba, rumah batiknya hampir tak berproduksi karena para pembatik pergi ke sawah. Saat ini, ia mempekerjakan sekitar 20 pembatik. Selain itu, ada puluhan pembatik yang mengerjakan batik di rumahnya dengan sistem borongan. Ia menjual batiknya di gerai yang terletak di depan rumahnya. Harganya dari Rp 100 ribu hingga Rp 3 juta, tergantung tingkat kerumitan batik.
Hadi mengatakan, ia juga mempekerjakan lima orang yang khusus membatik halus. Batik jenis ini bisa dikerjakan dalam kurun waktu satu tahun. “Batik halus ini sangat rumit. Ketebalan lilin, goresan garis, dan motif yang sangat rumit. Tidak semua orang bisa mengerjakannya,” kata dia.
Selain kain, Hadi menyiasati cacat kain dengan membuat aneka ragam kerajinan dari batik seperti baju, blankon, tas, dan pernak-pernik batik. Sebagai pengusaha, ia juga pernah mengalami keterpurukan. Saat krisis ekonomi tahun 1997, ia bahkan menghentikan usahanya karena tak satu pun batiknya laku.
Saat ini, omzet usahanya bisa mencapai Rp 50 juta per hari. “Kain batik dari tenun lurik akan saya kembangkan agar bisa terus berinovasi,” katanya. Ia prihatin dengan semakin terpuruknya usaha batik saat ini. Dari sekitar 165 pengusaha batik pada sekitar 1970-an, kini tersisa sekitar 10 pengusaha saja yang masih bertahan.
Bagi dia, batik Banyumasan mempunyai ciri pola batik tersendiri yang merupakan ciri batik pedalaman, yaitu banyak terinspirasi motif tumbuhan dan hewan. Sesuai dengan lingkunganya seperti hutan dan gunung. Proses pewarnaannya pun banyak menggunakan warna tua atau gelap dengan gambar yang lugas dan tegas, seperti budaya masyarakat Banyumas yang apa adanya.
ARIS ANDRIANTO