TEMPO.CO , Yogyakarta - Bila berkunjung ke Yogyakarta, mampirlah ke Jalan Imogiri Timur 9, Bantul. Jaraknya hanya sekitar sembilan kilometer dari makam raja-raja Mataram. Di sana terdapat warung sate kambing muda yang biasa disebut sate klatak. Rasa dagingnya tidak amis. "Bumbunya cuma garam dan merica," kata Muhammad Mustam, 57 tahun, penjual sate klatak di selatan lapangan Kanggotan, Pleret, Bantul, Kamis, 22 Maret 2012.
Menurut Mustam, daging kambing muda disate dengan aneka ragam bumbu dan kecap, justru menghilangkan rasa aslinya. Justru dengan bumbu sederhana lebih terasa gurih. Kalau seorang host acara kuliner di televisi menyatakan makanan atau masakan enak dengan kata-kata mak nyus, sate ini rasanya mak greng. "Yang pasti, rasane wedhus banget (rasanya kambing banget) tapi tidak amis," kata dia yang sudah berjualan sate klatak sejak 1986 itu.
Tusuk sate tidak terbuat dari bambu atau lidi, tapi menggunakan ruji (jeruji) sepeda ontel. Daging kambing muda dipotong-potong sebesar jempol lalu ditusuk dengan jeruji. Setiap jeruji ada enam atau tujuh potong daging sapi. Lalu diberi bumbu garam dan merica.
Tentu saja proses pemasakannya dengan dibakar di atas bara arang. Saat dibakar bara arang bergemeletak dengan suara "klatak, klatak, klatak....". Dari situlah nama sate itu disebut oleh para tukang sate yang jumlahnya sekitar seratusan pedagang di sekitar Jalan Imogiri Timur, serta di dalam pasar Wonokromo, Pleret, Bantul.
Jika ingin pedas, penjual sudah menyiapkan cabai. Supaya tidak terlalu kering saat sate dimakan sebagai teman nasi disediakan kuah gulai sebagai "pelicin" tenggorokan.
Harga satu porsi berisi empat tusuk jeruji hanya Rp 12 ribu. Sama halnya harga tongseng dan sate dengan bumbu kecap. Selain itu ada pula gulai, tongseng otak, gulai kepala, dan masakan lainnya.
Para penjual sate itu ada yang buka sejak pagi, ada pula yang hanya menjual sate pada malam. Jika di malam hari sate bisa dinikmati di dalam pasar Wonokromo, Pleret.
MUH SYAIFULLAH