TEMPO.CO , Sydney - Pukul enam pagi, Sydney masih terlelap. Sedan yang saya tumpangi membelah kota yang lengang, melesat ke selatan dan meninggalkan gedung-gedung pencakar langit yang menyesaki kawasan central business distrik di kota berpenduduk 4,6 juta jiwa itu. Meski jumlahnya cuma separuh penduduk Jakarta, jumlah itu cukup membuat Sydney menjadi kota paling padat di Australia.
Pertengahan Juni lalu, musim dingin baru saja dimulai di belahan selatan bumi. Tak sampai minus, penunjuk cuaca di dashboard mobil menampilkan angka delapan derajat Celsius, tapi sudah cukup dingin bagi saya sehingga sopir menghidupkan penghangat udara.
Pada pagi yang sejuk itu, saya mulai menyusuri kota-kota di selatan Sydney. Seorang kawan pernah berkata, kota-kota kecil di sepanjang pantai itu seolah melempar para pengunjungnya ke dua abad silam, ketika para tuan tanah dari Inggris, yang masing-masing membawa hingga ratusan narapidana, mulai mendiami benua baru tersebut dan memulai peradaban.
Satu jam berkendara, aspal yang mulus tanpa hambatan menghantarkan saya ke Wollongong. Kota berpenduduk 300 ribu jiwa ini merupakan tujuan kedua setelah Sydney sebagai tempat mahasiswa Indonesia melanjutkan studinya di Negara Bagian New South Wales.
Sejumlah teman asal Wollongong selalu menyebutkan pantai-pantai di kota itu jauh lebih indah daripada Sydney. Entah apa tolok ukurnya, tapi bagi saya tak jauh berbeda: pantai yang landai berpasir putih, bebas dari sampah, dan dilengkapi taman bermain khusus untuk anak-anak. Mungkin di Wollongong tampak lebih indah karena pantai-pantainya lebih sepi.
Wollongong bukanlah tujuan saya, karena saya hanya punya waktu satu hari dan harus kembali ke Sydney sebelum matahari tenggelam. Sedangkan saya, setidaknya, harus mencapai Nowra, 160 kilometer dari Sydney. Sebelum mencapai Nowra, saya akan singgah di Kiama dan Berry. Ketiganya adalah kota-kota sunyi yang ditinggal kaum mudanya untuk bekerja di Sydney atau Canberra. Hanya sebagian kecil yang bertahan menghidupkan denyut kota lewat jasa pariwisata, antara lain menjadi pramusaji.
Mobil pun terus melesat, tapi saya meminta pengemudi tak dalam-dalam menekan pedal gas karena saya tak ingin melewatkan pemandangan di sepanjang perjalanan. Lima belas menit dari Wollongong sebenarnya ada satu tempat yang layak disinggahi, yaitu Kuil Nan Tien (yang artinya surga selatan). Ini adalah kuil Buddha terbesar di selatan khatulistiwa, yang kerap dikunjungi turis atau peziarah yang ingin bermeditasi. Dari jalan raya, saya hanya sekilas melihat menara pagoda delapan lantai yang bersebelahan dengan kuil. Saya sempat mampir ke kuil tersebut pada musim dingin tahun sebelumnya.
Semakin ke selatan, jalan kian lengang. Setelah mampir di restoran cepat saji di tepi pantai, karena belum sempat sarapan ketika berangkat, saya bergegas menonton cipratan air dari lubang di bebatuan karang tepi pantai. Blowhole, kata orang di sana. Singkatnya, air laut masuk ke dalam terowongan di tebing karang dan, ketika ombak menghantam, dari lubang keluar air mancur setinggi hingga 25 meter.
Di sekitar lubang air mancur itu disediakan jalan setapak untuk mempermudah pengunjung menikmati semburan air, dan ada pagar pembatas untuk keamanan pelancong. Air mancur ini merupakan daya tarik utama Kiama. Menurut catatan dinas pariwisata setempat, 600 ribu turis menonton semburan air itu saban tahun. Entah apakah karena air mancur itu menakjubkan atau saya hanya terbawa suasana, seperti halnya para pengunjung lain, sehingga tak putus memandangi lubang dan menanti setiap semburan yang muncul setiap 30 detik hingga satu menit itu.
Di samping lubang air mancur itu berdiri mercusuar Kiama yang dibangun pada 1887. Hanya beberapa menit melintasi jalan setapak yang menurun, terhampar pantai landai berpasir putih. Ada pula taman yang bisa dipakai pengunjung untuk mendirikan tenda dan menghabiskan malam menunggu matahari terbit.
Tak jauh dari tepi pantai ada pasar ikan yang menyajikan tangkapan nelayan lokal dan dapat langsung dinikmati. Duduk menikmati kudapan, sesekali melihat semburan air, dan memandang jauh ke Lautan Pasifik, membuat saya membayangkan bagaimana para pelaut Eropa di masa lalu berlabuh dan menguasai benua ini. Para pelaut Bugis memang terlebih dulu menjejakkan kaki di Australia, tapi mereka tak punya nafsu untuk menguasai dan menaklukkan, hingga dataran Australia tak mereka kuasai.
Sudah pukul sebelas. Dengan berat hati saya meninggalkan Kiama. Siang itu, hujan rintik-rintik menyapu pantai. Dari mobil saya melihat dengan jelas pelangi yang melingkupi mercusuar. Kali ini, pemanas udara di mobil sudah dimatikan, meski saya masih mengenakan jaket karena cuaca berkisar 15-18 derajat Celsius. Meskipun hawa dingin mengundang kantuk, saya berusaha tetap terjaga sepanjang perjalanan.
Setengah jam dari Kiama, saya memasuki sebuah kota kecil yang di sepanjang kiri dan kanan jalan berjajar kedai-kedai minuman dan toko cendera mata dan barang antik. Berry adalah kota berpenduduk 2.000 jiwa yang mayoritas adalah pensiunan. Mungkin inilah kota yang dimaksud kawan saya tadi, kota yang penampakannya tak berubah sejak dua abad silam. Bangunan yang rapat di kedua sisi yang membuat jalan yang sudah kecil itu terasa kian sempit.
Bangunan-bangunan di Berry memang terlihat sangat tua, kedai-kedai yang terbuat dari kayu, juga losmen dan penginapan yang menjadi saksi gelombang kedatangan para imigran asal Inggris dan sekitarnya yang mencari penghidupan dengan menyamak kayu dan memelihara sapi perah. Kini, seperti halnya Kiama, Berry masih berdenyut berkat kunjungan turis. Berry berasal dari nama Alexander Berry, imigran Eropa pertama yang mendiami kawasan tersebut pada 1822. Sebelum Berry meninggal pada 1873, daerah tersebut dikenal dengan nama Coolangatta Estate.
Saya menyempatkan diri menyusuri beberapa blok bangunan, dan singgah untuk makan siang. Bisa saya pastikan jumlah anak muda yang saya lihat tak lebih dari hitungan jari. Selebihnya kaum lanjut usia yang lebih banyak duduk-duduk santai di kedai atau memilih-milih barang antik. Satu hal lagi yang membedakan kota kecil ini dengan Sydney adalah para turis yang datang. Sementara Sydney lebih banyak dikunjungi oleh turis Asia, di Berry nyaris tak ada turis berkulit gelap seperti saya atau bermata sipit--umumnya mereka datang dari Eropa.
Dasar kota tujuan wisata, harga makanan pun mahal. Jika saya cukup membayar Aus$ 10 untuk sekali makan di Sydney, di sebuah kedai di Berry saya merogoh Aus$ 27 untuk makan siang, belum termasuk minuman. Tapi, keramahan dan senyum gadis pramusaji kedai membuat rasa dongkol saya lenyap. “Lagi pula, tak tiap hari saya makan di kedai ini,” saya bergumam mencari pembenaran mengeluarkan Aus$ 27.
Selanjutnya, kota yang saya hampiri adalah Nowra, yang berpenduduk 30 ribu jiwa. Di kota ini, warganya masih mengandalkan pertanian dan peternakan sapi perah untuk sumber penghidupan. Tak banyak tempat saya singgahi di Nowra, tapi saya sempat mampir di salah satu penjara tempat tiga warga negara Indonesia ditahan karena kasus narkoba.
Dari Nowra, saya bergegas kembali ke Sydney karena waktu sudah menunjukkan pukul tiga sore. Pada musim dingin di Sydney, biasanya matahari tenggelam sekitar pukul lima petang. Perjalanan sepanjang 160 kilometer ditempuh dalam waktu dua setengah jam. Sore hari, kota-kota yang saya lintasi kian sepi. Hawa dingin pada awal musim dingin membuat pantai-pantai yang saya lintasi sepi dari aktivitas.
Dari kejauhan, gedung-gedung pencakar langit seolah bergerak mendekat menelan mobil yang saya tumpangi. Di tengah kota, saat tertahan lampu merah di persimpangan, saya melihat antrean orang di depan sebuah pub. “Ah, ini Rabu, hari gajian sebagian pekerja di Sydney.” Bagi mereka, tak ada yang lebih indah setelah seharian bekerja dan menerima gaji selain menenggak minuman dan ngobrol sekeras-kerasnya di pub atau kafe….
ADEK MEDIA
Berita Lainnya:
3 Tempat Wisata ''Aneh bin Ajaib''
Lantaran Difilmkan, 7 Lokasi Wisata Jadi Terkenal
Agustus, Festival Musik Bambu hingga Layang-layang
Kereta Kuno Jaladara Laris Manis
Hati-hati, Gunung Bromo Rawan Longsor
Bersorak di Lapangan Baseball Gwangju
Wisatawan Lokal Serbu Anyer dan Carita
Hotel di Senggigi Penuh Tamu Hingga Pekan Depan
Warga Jakarta Suka Piknik di Ragunan
Idul Fitri, Pengunjung Borobudur Membludak